HRW: Penghancuran Kehidupan Sipil Filipina Selatan
31 Juli 2007Kenyataan ini diungkap dalam laporan Human Rights Watch, sebuah organisasi pemantau hak asasi yang berkantor di New York. Laporan setebal 28 halaman yang dilengkapi suatu essay foto itu diluncurkan Selasa kemarin, dengan judul kehidupan yang Dihancurkan: Serangan terhadap Rakyat Biasa di Filipina.
John Sifton, peneliti senior mengenai terorisme dan kontraterorisme Human Rights Watch menyatakan:
"Bom-bom itu ditanam di tengah kota, pasar, keramaian, toko, bandara, di kapal-kapal penyebarangan, jalan raya, dan menewaskan warga Filipina tanpa pandang bulu, lelaki perempuan, tua muda, anak kecil. Kristen dan Muslim."
Disebutkan, sebagian besar serangan itu dilancarkan di Mindanao, Basilan, Jolo dan sejumlah pulau lain di Filipina Selatan. menewaskan hampir 400 warga sipil. Secara umum, korban pemboman sejak tahun 2000 itu mencakup 1700 orang. Mulai dari korban tewas hingga luka. Banyak di antaranya mengalami cacat permanen, karena kehilangan anggota badan.
John Sifton mengatakan pula, angka korban pemboman Filipina selama tujuh tahun ini sebetulnya lebih tinggi dibanding korban pemboman di Indonesia untuk masa yang sama –termasuk bom Bali 2002. Juga lebih dari korban pemboman di Spanyol, Marokko, Turki dan Inggris. Namun perhatian dunia ternyata sangat terbatas.
Padahal, dikatakan John Stifton, derajat kekejaman di Filipina Selatan luar biasa. Di luar korban tewas atau cacat, atau kehilangan keluarga, tak yang mengalami penderitaan mental berat. Banyak bocah yang harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pembunuhan kejam terhadap orang tua mereka.
Ini karena, dikatakan John Stifton dari HRW:
"Selain bom, kaum ekstrimis Filipina Selatan juga melakukan berbagai kekerasan lain seperti penculikan untuk memperoleh uang tebusan dalam jumlah besar. Serta pembunuhan terarah, termasuk dengan cara yang luar biasa kejam, seperti pemenggalan kepala."
Dua kelompok bersenjata Filipina Selatan merupakan pelaku dari berbagai kekejaman itu. Yakni kelompok Abu Sayyaf, dan Gerakan Rajah Suleiman. Disebutkan John Sifton:
"Baik kelompok Abu Sayyaf maupun Gerakan Raja Sulaiman terus memelihara hubungan dengan para anggota atau bekas anggota Jjemaah Islamiyah, kelompok radikal Indonesia pelaku bom Bali 2002. Para pejabat pemerintah Filipina menyatakan, bahwa selama beberapa tahun belakangan, sejumlah elemen Front Islam Pembebasan Moro MILF dan Front Nasional pembebasan Moro, MNLF, memberikan perlindungan atau bantuan terhadap para anggota Abu Sayyaf, gerakan RaJa Suleiman, maupun Jemaah Islamiyah".
Masalahnya, menurut HRW, pemerintah Filipina seperti tak berdaya mengambil langkah-langkah hukum. Dari sekian banyak yang ditangkap sejak tahun 2000, sangat sedikit pelaku yang diadili. Tak jarang, proses pengadilan tertundak sampai 4 tahun.
HRW memuji para pemimpin Moro baik dari MILF maupun MNLF, yang memutuskan hubungan dengan kelompok bersenjata pelaku kekerasan terhadap sipil. Namun untuk menghentikan sepenuhnya rantai kekerasan itu, HRW antara lain menyerukan para pemimpin agama maupun tokoh masyarakat Muslim Filipina Selatan untuk terus dengan lantang menyuarakan kutukan terhadap kekerasan-kekerasan dari kelompok Abu Sayyaf, Rajah Suleiman, Jemaah Islamiyah dan lainnya.
"Kami juga menyerukan agar para pemimpin kelompok Islam di Filipina Selatan untuk memastikan bahwa para tokoh dan komandannya di lapangan tidak membantu atau melindungi para pelaku kekerasan terhadap warga sipil."