HRW Desak Pencabutan Pasal Pencemaran Nama Baik
4 Mei 2010HRW menegaskan gugatan pencemaran nama baik merupakan senjata ampuh bagi orang-orang yang ingin membungkam kritik di Indonesia. Dalam laporan terkininya yang bertajuk „Kritik Menuai Pidana: Konsekuensi HAM dari Pasal Pencemaran Nama Baik di Indonesia“ HRW memuat dokumentasi berbagai kasus dimana pasal tersebut dipakai untuk membungkam kritik terbuka.
Bersama Internasional Corruption Watch HRW mengulas dalam isu tersebut dalam diskusi publik. Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW IIllian Deta Arta Sari mengungkapkan: „Kalau kita bicara soal korupsi, sepuluh tahun belakangan tingkatnya sangat tinggi. Karena banyak pasal pembungkaman. Salah satunya lewat pasal pencemaran nama baik. Kalau dari catatan ICW tahun 2004 sampai sekarang , banyak arah yang mencoba melaporkan korupsi, ada yang diproses atau tidak. Misalnya petani yang mempertanyakan soal transparansi pembebasan tanah. Atau warga sekitar hutan yang mempertanyakan izin penebangan hutan. Contoh lain kasus Prita Mulyasari yang komplain atas pelayanan buruk rumah sakit malah kena pencemaran nama baik.“
Begitu pula dalam kasus yang dialami Bersihar Lubis. Wartawan yang divonis melakukan pencemaran nama baik itu dijatuhi hukuman percobaan karena menulis kolom opini yang mengkritik keputusan Kejaksaan Agung melarang buku pelajaran sejarah diedarkan ke sekolah sekolah.
Dalam proses penyidikan bahkan dalam laporan HRW disebutkan pihak berwenang melakukan berbagai taktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap pengritik. Disebutkan lebih lanjut, proses penyelidikan dan pengadilan telah mengakibatkan dampak buruk bagi kehidupan mereka yang dituduh melakukan pencemaran nama baik. Bahkan dapat menyebabkan kehilangan mata pencarian pihak pelapor. Belum lagi kehancuran kehidupan pelapor akibat stigma yang harus mereka terima karena menjalani proses pengadilan.
Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW IIllian Deta Arta Sari menambahkan di Indonesia terdapat tujuh undang-undang yang mengatur soal pencemaran nama baik: „hukumannya bisa mencapai sembilan tahun. Di negara yang katanya demokrasi ini menghambat demokrasi. Karena seharusnya kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat punya hak mengontrol, mengawasi dan menyampaikan keluhan. Namun tak ada gunanya kalau ada pasal ini. Kondisinya separah itu di Indonesia.“
Diakui HRW, hukum internasional memungkinkan adanya pembatasan oleh negara terhadao kebebasan berekpresi untuk melindungi reputasi seseorang. Namun hanya terkait hal penting dan sekhusus mungkin. Bila menggunakan hukum pidana, menurut HRW tak sebanding dengan pencemaran reputasi seseorang. Oleh kárena itu, sebagai solusinya, HRW menawarkan alternatif. Diantaranya, mengganti dengan hukum pencemaran perdata untuk mengakomodasi kebebasan berekspresi. Namun pejabat tidak diperbolehkan mengajukan tuntutan pidana terkait kritik yang dinilai mencemarkan nama baik dalam kapasitas mereka sebagai pejabat.
Ayu Purwaningsih
Editor: Hendra Pasuhuk