Hanya Celaan bagi Korea Utara
5 April 2013Tak putus-putusnya Korea Utara memasuki berita utama harian internasional pada hari-hari terakhir ini. Korut akan kembali mengaktifkan instalasi nuklirnya di Yongbyon yang telah dinonaktifkan selama enam tahun. Korut melarang pekerja Korea Selatan memasuki kawasan industri bersama, artinya menutup satu-satunya jalan ke arah selatan. Selanjutnya diberitakan, militer Korut memberikan lampu hijau untuk melancarkan serangan nuklir terhadap Amerika Serikat. Demikian daftar provokasi dari negara Korea Utara pimpian Kim Jong Un sejak minggu lalu.
Seruan internasional tidak dipedulikan. Apakah itu dari Sekjen PBB, Ban Ki Moon, Menlu AS atau dari Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye. Kementrian Luar Negeri Jerman menyampaikan, Jerman berdiri di belakang Korsel, sembari menyerukan China sebagai "tetangga dan sekutu terpenting Korut untuk memainkan peran yang bertanggung jawab dan mendamaikan."
China tunjukkan kesabaran besar
Namun China tidak melakukan tindakan berarti selain kata-kata peringatan saja. Sebelumnya bersama negara anggota Dewan Keamanan PBB, China menyepakati peningkatan sanksi terhadap Korea Utara menyusul peluncuran roket Korut Desember lalu dan ujicoba nuklir Februari ini. Jurubicara kementrian luar negeri Hong Lei mengatakan, situasi di semenanjung Korea saat ini "cukup peka" dan "sulit". Sementara rencana nuklir Pyongyang disebutnya sebagai "menyesalkan".
Sedangkan Profesor Jian Cai dari Korea-Institute Fudan University di Shanghai mengatakan, pernyataan Korut untuk mengaktifkan kembali instalasi nuklir Yongbyon adalah "pelanggaran terang-terangan kesepakatan pembicaraan enam pihak tahun 2007". China tampaknya terjebak dalam dilema. Beijing tidak ingin perang, karena ini berarti, pasukan China akan berada di sisi Korut melawan pasukan AS.
Pada umumnya kegusaran sangat besar, tambahnya. "Sebagai sekutu lama, China sangat kecewa atas sikap Korut", demikian disimpulkan Prof. Chai, "pemerintah berpendapat, Korut sama sekali tidak mempedulikan Beijing yang selalu mengupayakan stabilitas di wilayah itu."
Adalah penting menyadarkan Korut bahwa sikap semacam itu akan membawa konsekwensi. Karena itu, saat sanksi terakhir dikeluarkan, China lebih aktif ketimbang sebelumnya. Namun Prof. Cai tahu bahwa ke depan Beijing akan tetap mendukung Korut. "China tidak akan pernah melepaskan Korut begitu saja."
Tetap Cemas
Zhangjin Huang, wakil redaktur kepala, majalah mingguan "Phoenix Weekly" juga berpendapat sama. Perubahan mendasar tidak akan terjadi pada kebijakan China. "Bagi pemerintahan jelas bahwa Korut adalah 'anak yang bermasalah'. Tetapi sebagai tetangga, sebuah negara sosialistis seperti Korea Utara, jauh kurang berbahaya untuk mata Beijing ketimbang sebuah negara liberal dan demokratis." Korut juga memainkan peran sebagai zona penyangga antara China dan militer AS di Korsel serta Jepang.
China tentu berharap, Pyongyang kini memikirkan kembali sikapnya. Jika tidak, ada dua skenario menakutkan. "Yang tidak diinginkan China adalah penyatuan Korut dan Korsel", kata Huang. "Tapi China lebih takut, jika rezim Kim Jong Un dihancurkan oleh AS dan Korsel." Kesimpulannya: China terutama menginginkan satu saja, yaitu ketenangan di sekelilingnya. Tapi tampaknya sekarang tidak demikian.