Guru Ukraina Bergerilya Lawan Indoktrinasi Rusia di Sekolah
15 Januari 2024Para orang tua dan guru di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia menghadapi intimidasi dan ancaman jika mereka menolak kebijakan pendidikan baru yang diberlakukan oleh Moskow.
Kebijakan tersebut memaksa guru untuk mengajar dalam bahasa Rusia dan dengan kurikulum Rusia. Kurikulum ini mencakup buku sejarah baru yang membenarkan perang di Ukraina.
Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022. Pada bulan September tahun yang sama, Moskow menyatakan telah menganeksasi empat wilayah Ukraina, yakni Zaporizhzhia, Kherson, Donetsk, dan Luhansk secara keseluruhan. Namun mereka hanya memiliki sebagian kendali atas wilayah tersebut.
Invasi tersebut menginterupsi pendidikan ribuan siswa. Kini, sekolah-sekolah di Ukraina timur ikut menjadi medan pertempuran, seiring upaya Rusia merebut hati dan pikiran anak-anak sekolah.
"Di pagi hari, anak saya pergi ke sekolah, di sana kami dipaksa berbicara bahasa Rusia kepada siswa kami dan mengajari mereka buku-buku berbahasa Rusia,” seorang guru asal Ukraina, yang juga ibu dari seorang murid, mengatakan kepada DW.
"Pada malam hari, kami memberikan pelajaran online dalam bahasa Ukraina, dan kami mengajari mereka tentang kami,” tambahnya.
Masalah bahasa, sejarah, dan identitas Rusia dan Ukraina telah menjadi pusat konflik bahkan sebelum invasi. Jutaan warga Ukraina menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa pertama mereka.
Setelah gerakan protes Euromaidan tahun 2014, Kyiv mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan penggunaan bahasa Ukraina secara lebih luas dalam kehidupan publik, termasuk di sekolah, televisi, dan di kalangan pekerja sektor publik. Moskow menuduh pemerintah Ukraina melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas berbahasa Rusia.
Pecahnya perang Ukraina tahun 2022 mendorong staf menutup sekolah setempat, kata seorang guru di Ukraina yang tidak ingin disebutkan namanya. Anak-anak didik mengikuti kelas online berdasarkan kurikulum Ukraina selama hampir satu tahun.
Namun pada Agustus 2023, tentara Rusia mendekati para guru dan memaksa mereka untuk mulai mengajar dalam bahasa Rusia, mengambil materi dari buku teks bahasa Rusia, dan sesuai dengan kurikulum Rusia.
"Sulit. Tidak ada anak-anak di desa kami yang bisa berbahasa Rusia. Anak-anak tidak bisa berbahasa Rusia, terutama di kelas dasar. Inilah sebabnya kami mengajar di sana sebagai formalitas, dan di malam hari, di rumah, kami kembali mengajar dalam bahasa Ukraina , tapi hanya jika ada internet,” ujarnya.
Rusia dituduh gunakan pendidikan untuk propaganda
Dalam laporan pada bulan Desember 2023, organisasi hak asasi manusia Amnesty International menuduh Rusia mengubah "pendidikan menjadi mesin propaganda untuk indoktrinasi anak-anak” dan berusaha "menghapus budaya, warisan, dan identitas Ukraina.”
"Di wilayah pendudukan Rusia, intimidasi dan pemaksaan adalah kenyataan sehari-hari yang dialami keluarga, anak-anak, dan staf pengajar. Tidak ada seorang pun yang aman di bawah kampanye teror Rusia yang tiada henti,” kata peneliti Amnesty International, Anna Wright.
Moskow saat ini menguasai kurang dari 18% wilayah Ukraina, termasuk Semenanjung Krimea yang dianeksasi pada 2014, menurut perkiraan Institut Studi Perang yang berbasis di AS.
Guru Ukraina gunakan taktik gerilya
Menentang tekanan Rusia, sejumlah guru, siswa dan orang tua mulai "menggali lubang di kebun mereka untuk menyembunyikan laptop dan ponsel atau bersembunyi di loteng dan gudang tua untuk menangkap sinyal ponsel” agar bisa mengikuti pelajaran online di Ukraina, menurut ke Amnesty.
Organisasi tersebut juga menulis tentang seorang pustakawan sekolah yang mengatakan harus mengatur pertemuan rahasia dengan siswa untuk memberi mereka buku. Dia mengatakan patroli militer Rusia sering melakukan penggeledahan secara sewenang-wenang di desa mereka.
Hal ini tampaknya merupakan bagian dari pola intimidasi yang lebih luas yang dilakukan oleh pasukan pendudukan. Pejabat Rusia juga dilaporkan mengancam akan menjauhkan anak-anak dari orang tuanya untuk memastikan kepatuhan mereka. Hal ini bukanlah ancaman kosong, ribuan anak Ukraina diduga dideportasi secara paksa ke Rusia dan Belarus.
Seorang ibu yang menolak menyekolahkan anaknya yang berusia 15 tahun mengatakan bahwa dia dihadang oleh pria berseragam pasukan Rusia. Mereka mengancam bahwa putranya akan dibawa "ke panti asuhan di Rusia" kecuali dia mulai belajar di sekolah.
Saat anak laki-laki itu kembali ke sekolah, ia menemukan sekolahnya "dihiasi dengan simbol negara Rusia, sementara personel bersenjata ditempatkan di pintu dan di dalam gedung,” menurut laporan Amnesty.
Belajar dengan akses VPN
Berbicara kepada DW, aktivis Violeta Artemchuk memperingatkan bahwa semua situs web yang menawarkan pelajaran online di Ukraina telah diblokir dan hanya dapat diakses menggunakan VPN.
"Para penjajah memeriksa dengan cermat semua perangkat anak-anak dan orang tua untuk mencari mereka yang masih belajar di sekolah-sekolah Ukraina,” katanya.
Selain itu, orang tua juga dijanjikan fasilitas seperti "ekstrakurikuler gratis, dan tiket kolam renang” apabila mereka memutuskan untuk mengganti paspornya dengan paspor Rusia, kata Artemchuk. Ia memimpin LSM Donbass-SOS yang bertujuan membantu warga sipil di zona pendudukan Rusia.
Sementara aktivis kelahiran Krimea, Valentina Potapova, yang mengepalai LSM Ukraina Almenda, menyerukan Ukraina untuk membuat sekolah online yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak di wilayah pendudukan. Sekolah semacam itu memungkinkan anak-anak untuk belajar bahasa, sejarah, dan hukum Ukraina.
Berbicara kepada DW, Potapova mengatakan usulan ini telah beredar sejak aneksasi Krimea tahun 2014 dan pembentukan pemerintahan ilegal pendukung Rusia di Donetsk dan Luhansk. Namun, karena Kyiv tidak pernah menerapkan tindakan ini, Ukraina telah kehilangan satu generasi dalam satu dekade terakhir, katanya. (ae/hp)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!