Genderang Nasionalisme Ekonomi Dua Kandidat
11 Juni 2014Menjelang pemilihan 9 Juli, baik kandidat unggulan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto mengatakan mereka akan berpihak kepada perusahaan dalam negeri dalam industri minyak dan gas dan berjanji mempertahankan kebijakan kontroversial melarang ekspor bijih mineral mentah.
Indonesia telah lama menjadi tujuan investasi besar tapi beberapa tahun belakangan para politisi nasionalis berkampanye untuk menjepit sayap perusahaan-perusahaan asing yang mereka katakan telah menuai keuntungan besar dan tidak banyak memberi keuntungan kepada Indonesia.
Kebijakan itu termasuk pembatasan bagi perusahaan energi asing untuk mempekerjakan ekspatriat, dan batas prosentase saham yang bisa dibeli oleh suatu bank untuk membeli bank lainnya – sebuah kebijakan yang diperkenalkan setelah sebuah bank Singapura berusaha membeli sebuah bank Indonesia.
Para pengamat mengatakan bahwa platform ekonomi Jokowi dan Prabowo menunjukkan bahwa, siapapun yang menang, iklim ekonomi kelihatannya tak akan berubah di bawah pemerintahan berikutnya.
Ekonomi Indonesia adalah salah satu yang paling bergairah di dunia, dengan pertumbuhan tahunan enam persen, yang didorong oleh permintaan rakus atas berbagai komoditi ekspor – khususnya dari Cina – dan kekuatan daya beli kelas menengah yang sedang tumbuh.
Pemerintah Jakarta beralasan bahwa meski akan menyakitkan untuk jangka pendek, langkah seperti larangan ekspor bijih mineral mentah, yang memaksa berbagai perusahaan untuk memproses hasil tambang mereka di Indonesia, adalah satu-satunya cara untuk mengembangkan industri nasional.
Para analis mengatakan bahwa meski tujuannya terpuji, kebijakan ini buruk dan bahwa industri Indonesia yang rawan korupsi belum siap untuk mencapai tujuan ambisius tersebut.
Kandidat berbeda, kebijakan sama
Dari permukaan, kedua kandidat sangat berbeda.
Jokowi yang memenangkan dukungan berkat kepemimpinannya di Jakarta dilihat sebagai sebuah terobosan segar dari para elit lama dari era kediktatoran Suharto yang berakhir 1998, sementara Prabowo adalah bekas tokoh militer dengan masa lalu gelap yang sejak lama mencerca penguasaan asing atas sumberdaya Indonesia.
Namun seiring dengan semakin ketatnya persaingan diantara kedua kandidat beberapa pekan terakhir, yang ditandai semakin menipisnya jarak dukungan, Jokowi memilih nada yang lebih nasionalistik dan kebijakan ekonomi kedua kandidat kelihatannya bertemu di satu titik.
Dalam suatu artikel opini di harian Kompas, Jokowi menulis: “Kita perlu meninjau ulang kebijakan investasi asing… karena sebagian besar investasi diarahkan ke padat modal, sektor-sektor ekstraktif, yang tidak menciptakan banyak lapangan kerja tapi hanya untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin.“
Wellian Wiranto, seorang ekonom dari OCBC Bank, Singapura, memperingatkan adanya resiko ”kecenderungan buta menuju nasionalisme” yang bisa membuat takut para investor asing di tengah upaya untuk memulihkan ekonomi setelah gejolak pasar yang muncul tahun lalu.
“Meski bisa dimengerti bahwa keduanya ingin menyuntikkan semangat nasionalistik ke dalam kampanye mereka untuk mengamankan dukungan pada 9 Juli.. namun ada sebuah resiko negara ini sedang melangkah di lereng yang licin,“ kata dia.
Program kebijakan Jokowi yang menyerukan adanya pembatasan penjualan bank kepada pihak asing, berpotensi menciptakan masalah bagi para investor yang melirik sektor yang tumbuh cepat di negara di mana jutaan orang masih tidak punya rekening bank.
Sementara Prabowo menginginkan perusahaan Pertamina yang dikontrol negara memainkan peran lebih besar dalam mengelola ladang minyak dan gas, demikian kata kakak sekaligus penasihat ekonominya, Hashim Djojohadikusumo, baru-baru ini mengatakan.
Program Prabowo juga menyerukan lebih banyak keterlibatan perusahaan negara BUMN untuk memproses bijih mineral, dan bicara tentang pengembangan industri nasional, dari pembuatan mobil hingga kapal – proyek-proyel yang telah gagal di banyak negara lain di Asia.
Manfaatkan sentimen anti asing
Kedua kandidat bertaruh dengan bahasa seperti itu untuk menarik dukungan dari banyak diantara 186 juta pemilih yang tidak suka dengan beroperasinya perusahaan-perusahaan asing seperti itu di Indonesia.
Salah satu yang paling banyak disorot adalah raksasa tambang Amerika, Freeport-McMoRan, yang selama beberapa dekade mengelola salah satu pertambangan tembaga dan emas terbesar dunia di Papua.
Perusahaan itu dituduh merusak lingkungan dan tidak memberi dampak kepada masyarakat lokal, meski Freeport membantah dan menyatakan menggelontorkan banyak uang ke Papua dan memberi banyak lapangan kerja bagi masyarakat.
Beberapa pengamat mengatakan retorika itu mungkin hanya dirancang untuk memenangkan suara, dan bahwa siapapun yang terpilih kemungkinan akan mengejar kebijakan yang lebih lunak ketika berkuasa – Jokowi mengatakan kepada para pengusaha pekan lalu bahwa dia akan menciptakan iklim usaha yang lebih mudah di Indonesia.
“Retorika anti asing adalah cara termudah untuk mempengaruhi pemilih di mana-mana, termasuk Indonesia, kata Kennedy Muslim dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia.
ab/hp (afp,ap,rtr)