Filsuf Thomas Aquinas Akan Melihat TikTok Sebagai Masalah
7 Maret 2024Thomas Aquinas adalah salah satu pemikir paling penting di Abad Pertengahan. Dia belajar di Napoli dan Bologna, Italia, kemudian sempat mengajar di Roma, Paris dan di Köln, Jerman. Berikut rangkuman wawancara DW dengan direktur Thomas Institute di Universitas Köln, Prof. Andreas Speer.
Deutsche Welle: Profesor Speer, Anda adalah salah satu pakar Thomas Aquina. Siapakah pemikir ini?
Andreas Speer: Thomas sebenarnya mengisi dua peran. Di satu sisi, di dalam ordonya, Ordo Dominikan, dia menganjurkan kembalinya cara hidup Kristen yang radikal. Gerakan reformasi ini ingin menghidupkan kembali apa yang disebut inti evangelis – soal kemiskinan, kesucian, ketaatan, dan terutama soal kekurangan harta benda.
Di sisi lain - ini adalah ide reformasinya yang kedua - dia memberi makna penting seorang guru universitas - yang sekarang kita sebut sebagai profesor. Dia adalah profesor pertama dari ordonya di Universitas Paris. Sejarawan Prancis yang terkenal, Jacques LeGoff, berbicara tentang munculnya kelas sosiologi baru: kaum cendekia, yang dicirikan oleh refleksi mereka yang konsisten. Thomas adalah seorang cendekia, dan membantu membentuk gerakan inovatif dalam masyarakat pada saat itu.
DW: Hari ini, 750 tahun setelah kematiannya, siapakah Thomas Aquinas saat ini?
Speer: Dia adalah teman bicara yang menarik. Dia mungkin tidak setenar Immanuel Kant, namun Thomas memberikan kontribusi yang signifikan terhadap fakta bahwa ada hal seperti intelektualitas Kristen. Dan jika kita mengambil era di masa hidupnya, yang secara tidak tepat kita sebut sebagai Abad Pertengahan, tentu dialah yang paling dikenal namanya dari milenium yang menarik ini.
DW: Generasi muda saat ini tidak suka berpikir panjang dan lebih senang kabar tweet atau bahasa TikTok. Apa yang bisa diberikan Thomas Aquinas kepada kaum muda masa kini?
Speer: Singkatnya: rumuskan dengan tepat (yang ingin Anda katakan), berani berpikir! Dan: pikirkan dulu, baru bicara! Sebelum Anda memformulasikan pendapat, Anda harus melihat argumen apa yang ada. Thomas Aquinas, dengan caranya, menyempurnakan gaya diskusi saat itu dengan cara mengklarifikasi argumennya. Dia juga sering memformulasikan pemikirannya dalam format yang sangat pendek, hampir seperti di Tik Tok.
DW: Anda berbicara dengan sangat antusias tentang kualitas perdebatan masa itu. Sedangkan saat inii, yang mendominasi adalah slogan-slogan datar yang bertele-tele, baik dalam debat politik maupun di media. Apa yang akan dikatakan Thomas Aquinas tentang hal itu?
Speer: Dia akan mendiagnosis hal itu sebagai sebuah masalah. Dan dia akan mendesak disiplin dalam berpikir. Thomas tentu saja tidak senang dengan argumen yang ada saat ini. Dia akan menegaskan lagi pentingnya merumuskan sesuatu secara bijaksana dan tepat. Anda harus memahami lebih dulu masalahnya, sebelum memberikan jawaban. Hal ini juga mencakup sikap menghargai pendapat yang Anda kritik, dan berusaha memahaminya.
DW: Hal ini menjadi lebih sulit ketika sekarang bertebaran apa yang disebut fake news…
Speer: Menyangkut fake news, Thomas Aquinas akan sangat kritis. Baginya sangat jelas, bahwa pengetahuan dan kognisi kita diarahkan untuk kebenaran. Siapa pun yang dengan sengaja berbohong dan menyebarkan hal yang palsu pada hakikatnya bertentangan dengan akal manusia. Baginya, ini adalah salah satu kejahatan terburuk yang bisa dilakukan seseorang. Karena akal adalah hakikat manusia, dan karenanya merupakan inti kemanusiaan. Berita palsu sengaja ditujukan terhadap inti kemuanusiaan ini. Thomas akan sangat mengecam hal itu, dan dia akan berjuang dengan tegas melawan fake news, dia akan memperjuangkan kebenaran.
DW: Tapi... Thomas Aquinas juga membuat pernyataan tentang kurangnya struktur kepribadian pada perempuan dan status subordinat mereka. Apakah dia akan merasa malu dengan pernyataan itu saat ini?
Speer: Ya. Pada saat itu – ini perlu disesalkan – hal seperti itu adalah yang lumrah dalam filsafat dan ilmu pengetahuan alam. Ada serangkaian pernyataan seperti itu dari Thomas Aquinas. Dalam hal ini, dia tidak berbeda dengan para pemikir besar lainnya pada zaman itu. Kita hanya secerdas tingkat pengetahuan di zaman kita. Kalau kita lihat sejarah terkini mengenai hak-hak perempuan, misalnya, generasi ibu saya masih memerlukan izin dari suami untuk bisa bekerja. Doktrin filsafat alam yang keliru ini bertahan begitu lama. Itu sebabnya, sejarah ilmu pengetahuan sangat penting untuk memahami bagaimana prasangka bisa muncul dan bagaimana penyimpangan baru bisa terjadi. Thomas Aquinas sendiri melihat sejarah sains sebagai kesempatan untuk belajar dari kekuatan dan kelemahan, serta untuk lebih memahami berbagai pertanyaan dan permasalahan.
Andreas Speer (66 tahun) adalah filsuf Jerman dan menjadi profesor filsafat di Universitas Köln sejak 2004. Dia adalah direktur Thomas Institute di Universitas Köln, dan anggota Akademi Sains dan Seni negara bagian Nordrhein-Westfalen (NRW). Wawancara untuk DW dilakukan oleh Christoph Strack.
(hp/as)