1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kegelapan Orba Hantui Wacana Presiden Kembali Dipilih MPR

28 November 2019

PBNU mengusulkan agar presiden kembali dipilih oleh MPR, karena menganggap bahwa pemilihan secara langsung banyak menghabiskan biaya. Pengamat menilai Indonesia akan mundur dan kembali ke zaman orba.

https://p.dw.com/p/3TrZ7
Indonesien Parlament in Jakarta
Foto: Imago Images/ZUMA Press/Y. Yuewei

Usul agar presiden kembali dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mencuat usai pimpinan MPR melakukan pertemuan dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Seusai pertemuan itu, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj, berbicara tentang pemilihan presiden dikembalikan ke MPR. 

"Tentang pemilihan presiden kembali MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek, Cirebon, 2012," ujar Said Aqil seusai pertemuan tertutup di kantor PBNU, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).

Dia mengatakan usul itu muncul setelah ada pertimbangan antara manfaat dan dampak negatif pemilihan presiden secara langsung. Salah satunya persoalan biaya yang besar.

"Kiai sepuh, waktu ada Kiai Sahal pas masih hidup, Kiai Mustafa Bisri, menimbang mudarat dan manfaat, pilpres langsung itu high cost, terutama cost spesial. Kemarin baru saja betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan," katanya.

Said Aqil menilai pemilihan langsung lebih banyak berdampak negatif. Menurutnya, demokrasi merupakan alat untuk menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat. 

"Demokrasi itu alat, media mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kalau demokrasi menujukan kemudaratan, belum tentu demokrasi liberal itu akan memberi manfaat," katanya. 

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebut usulan dari PBNU akan menjadi suatu pertimbangan. Menurutnya, PBNU menginginkan proses pemilihan yang lebih baik tanpa menimbulkan banyak dampak negatif.

Baca juga: Mencecap Rasa Orde Baru di Era Joko Widodo

Bildergalerie 50 Jahre Massenmord an Mitgliedern und Sympathisanten der Kommunistischen Partei Indonesiens
Presiden Soeharto dilantik sebagai Presiden Periode 1988-1993 oleh MPR. Foto: picture-alliance/CPA Media Co. Ltd

Mundur ke zaman orba

Menurut Direktur Eksekutif, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, usulan tersebut seolah membuka kotak pandora untuk mengulang kembali ke zaman orde baru (orba)

"Sangat potensial mengulang kembali apa yang terjadi di era orde baru, karena pasti wacana ini tidak akan berhenti di sini. Pasti akan ada lanjutan yang menjadi pembenaran karena pertimbangan biaya, keutuhan bangsa, dan kebutuhan pada figur yang baik," kata Titi kepada wartawan, Kamis (28/11/2019).

Titi menilai pemilihan presiden secara langsung pada 2004 hingga 2019 terbukti bisa menghasilkan pemimpin yang sesuai. Titi pun membandingkannya dengan pemilihan presiden oleh MPR dalam kurun waktu 1999 hingga 2004.

"(Pilpres 2004-2019) bahkan jauh lebih stabil dibanding gonjang ganjing saat presiden dan wapres dipilih MPR pada kurun 1999-2004. Saat itu, belum selesai masa jabatannya, Gus Dur sudah dilengserkan oleh MPR. Otoritas MPR yang besar bisa menimbulkan kekisruhan dalam kehidupan politik. Sebab ketidakpuasan elite bisa dengan mudah disalurkan pada keputusan politik yang belum tentu sejalan dengan kehendak rakyat," ujar Titi.

Menurut Titi, keputusan elite yang tidak sejalan dengan suara publik berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan sebagai ekses ketidakpuasan. Soal biaya politik yang tinggi, dia mengatakan harus dilihat sebagai investasi pendidikan politik bagi masyarakat yang juga akan bisa menjadi suasana kondusif dalam bernegara.

"Itu harus dilihat sebagai sebuah investasi pendidikan politik yang kontributif dalam menjaga kesadaran publik untuk teribat dalam penentuan pemimpinnya. Bila masyarakat merasa jadi bagian dalam proses bernegara dan hak-haknya dijamin dengan baik untuk bersuara, maka konflik atau benturan antara rakyat dan pemerintah pun bisa dicegah dan pembangunan juga bisa berjalan dengan baik serta kondusifitas bernegara lebih terjaga. Jadi soal biaya tinggi itu indikatornya menjadi relatif," jelas TIti.

Baca juga:Pengamat: Amandemen UUD 1945 dan GBHN, Jalan Masuk Pilpres 2024

Campur tangan elite

Titi juga menyoroti pembelahan yang terjadi di masyarakat yang menurut dia harus dilihat akar masalah dan siapa pihak yang paling berkontribusi untuk itu. Jika elite yang bertanggung jawab memicunya, Titi mengatakan partai politik pun harus berbenah.

"Apakah aktor utamanya adalah masyarakat? Atau akibat perilaku elite yang hanya mengkanalisasi pilihan secara terbatas akibat pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential nomination threshold) serta pendekatan kampanye dari para politisi atau partai yang jauh dari politik gagasan, program, dan visi misi? Kalau itu yang jadi akar masalahnya, maka lagi-lagi pembuat kebijakan, khususnya partai politik, lah yang harus berbenah," ucapnya.

Lebih lanjut, Titi mengatakan demokrasi di Indonesia yang sudah berjalan baik tidak seharusnya kembali mundur ke masa lalu. Ke depan, Titi menyarankan agar partai politik berbenah dan membangun diskursus yang lebih sehat untuk demokrasi di Indonesia.

"Kenapa kita harus kembali mundur ingin masuk ke masa lalu? Justru ke depan berbagai instrumen demokrasi seperti parpol dan produk pemilu lah yang harus berbenah. Sebab di banyak negara kita belajar, demokrasinya mundur bukan karena kudeta atau perilaku rakyatnya, melainkan karena elite yang bertindak menggerogoti akuntabilitas pemerintahan dan berupaya membangun hegemoni oligarkis," tegas Titi.

"Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, secara perlahan demokrasi Indonesia menjadi rujukan bagi negara-negara lain. Mestinya elite menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang justru membawa Indonesia mengalami kemunduran dalam berdemokrasi," sambungnya. 

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani yang merespons bahwa usulan PBNU itu harus ada kajian terkait manfaatnya. "Itu akan dibahas di Komisi II. Wacana tersebut kan masih menjadi satu wacana, yang harus kita lihat itu kajiannya, apakah kita kembali ke belakang, mundur, apakah itu akan ada manfaat ke depan," kata Puan di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11).

Puan menilai sistem pemilihan presiden yang kini berlaku telah berjalan dengan baik. Meskipun, dalam pelaksanannya, ia menyadari masih ada sejumlah permasalahan.

"Tapi kan kita sudah melakukan pemilu langsung ini berkali-kali dan kita sudah, apa namanya, berjalan dengan baik dan lancar. Walau ada case by case yang tidak sesuai harapan kita, itu bukan berarti pemilu tidak berjalan baik dan lancar," sebut politikus PDIP itu. (Ed: pkp/rap)

 

Baca selengkapnya: detiknews

PBNU Usul Pemilihan Presiden Kembali ke MPR: Itu Keputusan Munas 2012

Usulan Presiden Dipilih MPR Dinilai Berpotensi Mengulang Era Kegelapan Orba

PBNU Usul Presiden Dipilih MPR, Puan: Apa Kembali Mundur Ada Manfaatnya?