1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Drama Pendanaan Iklim COP29, Bagaimana Posisi Indonesia?

22 November 2024

Pendanaan iklim jadi isu krusial dalam pertemuan internasional iklim COP29 di Azerbaijan. Bagaimana perdebatannya jelang berakhirnya negosiasi dan bagaimana pula posisi Indonesia?

https://p.dw.com/p/4nIbZ
Paviliun Indonesia di Baku
Paviliun Indonesia di Baku, AzerbaijanFoto: Afifa Nasr Ullah/DW

Dalam Koneferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, negara-negara berkembang terus mendesak negara maju untuk memenuhi komitmen terkait target anggaran iklim baru atau yang disebut sebagai New Collective Quantified Goal (NCQG). Perundingan berjalan lambat tetapi terus berlanjut. Masih terjadi perbedaan pandangan dalam skema dan jumlah pendanaan iklim.

Mengenai kuantum, semua pihak setuju bahwa harus ada kuantum untuk pendanaan iklim. Ada desakan NCQG dibingkai dalam ketentuan yang setara dengan hibah. Perbedaan lainnya adalah beberapa kelompok telah mengajukan usulan pembagian beban pendanaan, tetapi hal ini tidak disetujui secara seragam. Negosiator Indonesia Joko Prihatno menyebutkan masih mungkin terjadi perubahan jelang berakhirnya COP29.

Para negosiator negara-negara berkembang menekankan permintaan dana iklim di atas satu triliun dolar AS per tahun, terutama dari sumber-sumber publik di negara-negara maju. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa Pasal 9 Perjanjian Paris tidak terbuka untuk ditafsirkan ulang. Namun, masih ada ruang untuk kontribusi sukarela bagi NCQG dari negara-negara selatan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pasal 9 Perjanjian Paris menetapkan negara-negara maju untuk berkomitmen menyediakan dana 100 miliar dolar per tahun, mulai dari tahun 2020. Dana ini diperlukan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Pembiayaan ini bisa berupa hibah, pinjaman lunak, dan investasi.

Satu pengumuman positif yang muncul adalah persetujuan standar internasional terkait pasar karbon global, dan untuk meningkatkan integritas program kredit karbon, dengan kembali ke kesepakatan Glasgow (2021) yang tertuang dalam naskah Artikel 6, demikian diisebutkan Joko Prihatno. Negara-negara dapat menyepakati untuk mengalihkan pengurangan emisi mereka kepada negara lain melalui transaksi pasar karbon yang terstandarisasi.

"Indonesia happy, karena  dalam naskah ada kata-kata pengaturan nasional, dan berdasarkan platform regulasi nasional. Tapi tidak tahu negara mana yang tidak mau ya, karena diskusi-diskusi kelompok itu sifatnya tertutup," ujar Joko dalam wawancara dengan wartawan di Baku.

"Jika ada gerilya dari negara lain, saya tidak tahu. Karena pengalaman di Dubai tahun lalu, karena negara-negara maju seperti Uni Eropa, mereka tidak setuju, karena ada masalah hak asasi manusia, masyarakat adat dan tidak mampu. Jangan sampai terjadi itu. Kami mendorong tercapainya kesepakatan."

Indonesia perlu petakan sumber karbon dari laut

Sementara untuk pengurangan karbon nonmarket, pihak-pihak, perusahaan privat, entitas, filantropi, dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar negeri. "Sifatnya bantuan, boleh ke LSM, pemerintah, tetapi tidak boleh ada transfer unit karbon, karena bantuan itu sifatnya hibah, sementara unit karbon yang dihasilkan menjadi hak dalam negeri," papar Joko lebih lanjut.

"Selama untuk National Determined Contribution (NDC), tidak masalah. Kalau dijual ke luar negeri, tidak boleh." 

Sementara itu, Fegi Nurhabni dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan salah satu kesulitan mendapat pendanaan untuk isu kelautan adalah karena kurangnya data, di antaranya pemetaan. Misalnya untuk terumbu karang atau padang lamun yang merupakan penyerap karbon.

"Indonesia salah satu rumah terbesar padang lamun. Kita coba gali dari sini, namun belum kita hitung nilainya. KIta selama ini agak mengabaikan laut. Kita sudah punya peta nasional mangrove, namun belum punya peta nasional untuk padang lamun dan terumbu karang. Mungkin kesulitannya karena lokasinya berada di bawah air. Butuh usaha, biaya dan pakar untuk memetakan itu. Kami berusaha pakai citra satelit dan algoritma," ujar Fegi Nurhabni.

PBB tekan negosiatiator agar ambil kesepakatan COP29

Sekretaris Jendeal PBB António Guterres yang baru saja kembali dari KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil ikut mendesak para pemimpin G20 untuk menginstruksikan para menteri dan negosiator mereka untuk mengamankan tujuan pendanaan iklim baru yang ambisius di COP29.

"Waktu terus berjalan, COP29 hampir berakhir. Area konvergensi mulai terlihat jelas. Namun, perbedaan tetap ada. Kita perlu dorongan besar untuk menyelesaikan perdebatan, menyampaikan paket ambisius dan seimbang pada semua isu yang tertunda, dengan tujuan pendanaan baru sebagai intinya," kata Guterres.

Ditegaskannya lagi peningkatan pendanaan sangat penting untuk memastikan semua pihak dapat menyampaikan rencana nasional baru. "Untuk memberi setiap pemerintah kesempatan untuk meraup manfaat dari energi terbarukan yang bersih dan murah serta transisi energi yang adil, sekaligus mempercepat pengurangan emisi."

Hal ini juga penting untuk memungkinkan semua negara melindungi diri mereka sendiri, dan rakyat mereka, dari bencana iklim dan untuk membangun kepercayaan antarnegara.

Sekjen PBB menyebutkan, minggu lalu, bank pembangunan multilateral mengumumkan peningkatan signifikan dalam pendanaan iklim untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah sebesar $120 miliar per tahun pada tahun 2030 dengan $65 miliar lainnya dimobilisasi dari sektor swasta.

Germanwatch: Kinerja perubahan iklim Indonesia menurun, batu bara biang keroknya

Energi terbarukan juga termasuk tema penting dalam pertemuan dunia terkait perubahan iklim. Saat ini energi terbarukan mengalami kemajuan pesat di hampir setiap negara dengan emisi tinggi. Namun, masih banyak negara yang masih berpegang teguh pada model bisnis bahan bakar fosil. Hal ini ditunjukkan dalam Indeks Kinerja Perubahan Iklim (CCPI 2025) yang diterbitkan Germanwatch, NewClimate Institute, dan CAN International jelang COP29 berakhir.

Setiap tahun, CCPI menilai kemajuan yang dibuat oleh penghasil emisi terbesar di seluruh dunia dalam hal emisi, energi terbarukan, dan kebijakan iklim. Dalam daftarnya tertera 63 negara ditambah Uni Eropa yang dinilai dalam CCPI bertanggung jawab atas 90% emisi global.

Tiga peringkat teratas tetap kosong seperti tahun-tahun sebelumnya. Denmark tetap menjadi negara dengan peringkat teratas (ke-4), Belanda menyusul di peringkat ke-5, sedangkan Inggris menempati posisi ke-6.

Penghapusan penggunaan batu bara dan janji pemerintah untuk tidak memberikan lisensi baru bagi proyek bahan bakar fosil memainkan peran penting dalam peningkatannya. Namun beberapa negara mengalami penurunan peringkat, termasuk Indonesia yang jatuh di posisi 42.

Dalam wawancara dengan DW, Giovanni Maurice Pradipta dari Germanwatch menjelaskan dari hasil penelitian CCPI, indikator peraturan atau kebijakan di Indonesia mengenai iklim tidak bergerak begitu banyak dari tahun lalu. Banyak program-program yang dijanjikan atau undang-undang yang belum keluar atau prosesnya masih di tengah jalan sehingga peringkat Indonesia untuk tahun ini dinilai masih di bawah performa.

"Lalu satu dokumen penting dari peta jalan transisi energi Indonesia, yaitu dokumen yang diluncurkan untuk Just Energy Transition Partnerships (JETPs) bulan November 2023 mempunyai prioritas sektor yang belum jelas dan hanya berpusat kepada proyek individual," ujar Giovanni.

Untuk bisa meningkatkan peringkatnya lagi menurut Giovanni, ambisi iklim Indonesia yang akan memetakan jalan pengurangan emisi lima tahun ke depan harus jauh lebih ambisius daripada enhance NDC sebelumnya. Sebagai catatan, sampai sekarang Indonesia sudah punya tiga dokumen NDC dan yang terakhir adalah enhanced NDC.

"Sampai sekarang, Indonesia belum mempunyai batas emisi atas, di mana itu adalah batas maksimum Indonesia mengeluarkan emisi atau emission cap. Bila informasi saya benar dari konsultasi publik second NDC kemarin Indonesia seharusnya akan luncurkan batas  atas emisi tersebut kita harap hal-hal seperti ini akan bertahan di peluncuran berikut yang kita harapkan di awal tahun depan."

Giovanni menambahkan. solusi keduanya adalah dengan mematikan pelan-pelan pembangkit listrik batu bara atau coal phase out. "Ada kesalahan informasi soal ini, bahkan di tataran dokumen CCPI misalnya yang kita masih belum mengerti apakah benar-benar Indonesia akan melakukan coal phase out dengan baik dan cepat," ujarnya.

"Alasannya kenapa jangan menggunakan batu bara adalah semata-mata karena empat atau sekitar 40% emisi dunia itu berasal dari sektor energi, maka sektor energilah salah satu target pengurangan emisi paling besar. Di Indonesia sumber listriknya masih sangat mengandalkan batubara."

Cina berada di peringkat ke-55 dalam CCPI, turun ke level yang sangat rendah karena dinilai masih sangat bergantung pada batu bara dan tidak memiliki target iklim yang memadai. AS, penghasil emisi terbesar kedua, tetap berada di posisi ke-57.

Editor: Arti Ekawati