040810 Sinti Roma Europa
24 Agustus 2010Beberapa pekan lalu, sekitar 700 warga Sinti dan Roma dengan mobil karavannya tiba di Dour, sebuah kawasan di selatan Belgia, dekat perbatasan Perancis. Mereka mencari sebuah lapangan rumput dan mendirikan tenda-tendanya di sana. Polisi, penduduk dan pemilik tanah sejak itu mengalami ketegangan.
Walikota Dour Carlo di Antonio mengatakan, "Mereka meminta kepada kami agar dapat tinggal hingga 23 Agustus. Itu sungguh tidak mungkin. Di tanah itu tidak ada air yang mengalir, tidak ada sanitasi. 700 orang, itu jumlah yang besar!“
Sejak kedatangan kelompok Sinti dan Roma ke Dour, walikota Antonio melakukan perundingan dengan mereka. Masih belum diketahui bagaimana penyelesaian sengketa tersebut.
Masalah dengan etnis Sinti dan Roma tidak hanya terjadi di Belgia, tapi juga di Perancis, Jerman, Italia juga di Rumania. Bahkan di Hungaria media melaporkan secara rutin terjadinya serangan dengan kekerasan terhadap kelompok minoritas tersebut.
Kebijakan Pemerintah Perancis
Keputusan pemerintah Perancis akhir Juli lalu, untuk mengambil tindakan terhadap pemukiman ilegal kaum Roma telah dilaksanakan. Selain menggusur separuh dari 700 pemukiman ilegal pemukiman Roma di Perancis, pemerintah di Paris juga memulangkan warga Sinti dan Roma ke negara asal mereka, Bulgaria dan Rumania.
Bulgaria dan Rumania bergabung dengan Uni Eropa tahun 2007. Warga Bulgaria dan Rumania tidak boleh tinggal lebih dari tiga bulan di Perancis tanpa visa studi atau visa bekerja. Berdasarkan peraturan itulah Presiden Nicolas Sarkozy mengambil keputusan pemulangan warga Sinti dan Roma. 13 kelompok pertama etnis Roma dari Perancis sudah tiba di Sofia, Bulgaria, hari Jumat (20/08) malam. Kelompok lainnya akan tiba Rabu (25/08) dan bulan September mendatang.
Tantangan Besar bagi Uni Eropa
Tahun 2003, sebelum perluasan Uni Eropa ke timur bulan Mei 2004, Komisaris Eropa urusan pekerjaan dan sosial saat itu Anna Diamantopoulou sudah memperingatkan, kelompok minoritas Sinti dan Roma akan menjadi tantangan besar Uni Eropa. Di bekas negara-negara komunis, Sinti dan Roma adalah kelompok yang mengalami kekalahan besar dalam perubahan politis. Demikian dikatakan perdana menteri Hungaria kala itu, Peter Medgyessy. Sebab pada masa pemerintahan sosialis mereka masih memperoleh jaminan sosial minimum, walaupun mengalami diskriminasi budaya.
Dengan bergabungnya Bulgaria dan Rumania ke dalam Uni Eropa tahun 2007, kini 10 juta warga Sinti dan Roma yang tinggal di Uni Eropa, terdiskriminasi. Komisi Eropa mengupayakan agar kelompok minoritas ini terintegrasi, tapi tidak lebih dari itu. Setelah pengumuman Presiden Perancis Nicolas Sarkozy untuk menutup separuh dari 700 pemukiman Roma di Perancis, seorang juru bicara komisi Eropa di Brussel, Belgia, menjawab, institusinya menolak memberikan komentar, karena komisi tidak ingin mencampuri urusan politik dalam negeri suatu negara.
AI: Sinti dan Roma Peluang yang Terlewatkan
Amnesty International menyebut masalah itu peluang yang terlewatkan. Mengenai situasi etnis Roma di Eropa, penilaian organisasi hak asasi manusia itu masih sama seperti 10 Desember tahun 2009 lalu.
"Di Eropa ada masalah besar. Ada sebuah kelompok yang oleh negara-negara Uni Eropa dipandang sebagai kelompok luar, yang didiskriminasi secara sistematis. Kelompok ini adalah Roma. Etnis Roma hidup di banyak kota di Eropa, sebetulnya hampir di seluruh kota, pada umumnya di kawasan kaum minoritas ghetto. Mereka tidak memiliki akses untuk jasa pelayanan yang diperoleh semua warga. Misalnya mereka tidak dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, di Ceko anak-anak Roma di sembunyikan di kelas khusus. Dan dengan demikian mereka juga tidak memiliki peluang hak asasi untuk pendidikan," demikian dikatakan Monika Lüke dari Amnesty International.
Kebebasan Bergerak Milik Semua Warga Uni Eropa
Di Italia, situasi etnis Roma bahkan lebih buruk. Terdapat usulan undang-undang agar tidak lagi memberi jaminan sosial bagi etnis Roma. Menteri Dalam Negeri Italia Roberto Maroni juga mengusulkan deportasi warga Roma dan warga Uni Eropa lainnya, jika mereka tidak memenuhi peraturan di negara tamunya. Sementara Giancarlo Perego, penanggungjawab masalah migrasi pada konferensi uskup Italia memperingatkan, "Kebebasan bergerak bangsa-bangsa adalah persyaratan mendasar bagi Eropa di masa depan. Jika kebebasan lalu lintas dan barang diutamakan, tapi pergerakan warga dibatasi, ini akan mengancam masa depan Eropa. Politik imigrasi seperti ini akan mendorong meningkatnya sikap nasionalisme."
Sementara di Hungaria, terjadi serangan terhadap etnis Roma yang sampai menyebabkan kematian. Lebih dramatis lagi adalah situasi minoritas Roma di Rumania. Sejumlah politisi menyampaikan ungkapan-ungkapan rasistis secara terbuka, yang mana dapat dilihat, pemerintah Rumania secara resmi menganggap warga etnis Roma akan lebih baik situasinya jika berada di Mesir.
Proyek untuk Memperbaiki Situasi Roma
Sementara Veronica Scognamiglio dari Amnesty International menilai komisi Eropa menutup mata terhadap masalah yang ada. Masalahnya sudah diketahui. Badan hak-hak dasar Eropa telah mengajukan sejumlah penelitian. Dalam laporan itu disebutkan bahwa kelompok etnis Sinti dan Roma dirugikan dalam pencarian rumah, mereka tidak tahu hak-haknya dan sering kali tingkat pendidikannya sangat rendah. Di Eropa semua warga boleh memutuskan secara bebas di mana mereka ingin menetap. Namun banyak negara meminta bukti setelah masa tiga bulan, apakah seorang warga asing dari negara Uni Eropa lainnya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan jika terjadi masalah dengan instansi-instansi pemerintah, warga Sinti dan Roma ini pindah lagi.
Komisi Eropa ingin mendorong integrasi kelompok minoritas Sinti dan Roma serta meminta negara-negara anggota lebih banyak meluncurkan proyek tersebut. Sejak tahun 2000 proyek untuk memperbaiki situasi warga Sinti dan Roma sudah digagas. Dana untuk melaksanakan proyek itu sudah disediakan melalui Yayasan Sosial Eropa. Beberapa negara mengantisipasi masalah ini lebih serius. Misalnya Swedia dan Rumania telah mengangkat pejabat khusus untuk menangani etnis Sinti dan Roma.
Christoph Prössl/Dyan Kostermans/dpa/AFP
Editor: Asril Ridwan