Catatan Tentang Kota München dan Universitasnya
8 Februari 2019Catatan ini barangkali penting untuk sahabat atau kolega yang akan memulai studi S-3 di Jerman bulan April 2019, atau sedang ada rencana untuk studi di Jerman tahun depan atau tertarik menyimak kisah tantangan kuliah di luar negeri, khususnya di Eropa.
Biasanya, periode 3-6 bulan pertama studi lanjut di luar negeri adalah golden period yang tak mudah dilupakan. Inilah sebagian kenangan saya sekitar tiga tahun yang lalu ketika untuk pertamakali menginjakkan kaki di kota München, Jerman. Kenangan tentang sebuah kota yang megah dan kampus yang nyaman. Kenangan tentang perjuangan merantau untuk mencari ilmu dan memperkaya pengalaman batin.
"Gimana perjalanan Jakarta ke München? Apa sudah dapat tempat tinggal sementara di München? Sudah tahukah dimana lokasi masjid jika mau sholat?" Ini tiga pertanyaan yang saya dapat sesaat setelah tiba di bandara internasional Munich, 24 September 2015 yang lalu. (Catatan: München adalah kota terbesar ketiga di Jerman, berlokasi di negara bagian Bavaria, bagian selatan Jerman, berbatasan langsung dengan Austria dan Ceko).
Ketiga pertanyaan diatas tipikal pembicaraan yang menyiratkan keramahan dan sambutan hangat kepada kolega baru mahasiswa doktoral di Jerman, khususnya München. Di Eropa yang kurang mengenal basa basi, tiga pertanyaan itu ibarat a warm welcome to Germany...
Buat saya pada saat itu, pertanyaan ke-3 mengharukan, muncul dari dua orang penting terkait awal studi di München dan mereka non-muslim: Pertama dari Sarah Bomkampt, kolega sesama mahasiswa S-3 asal negara Siera Leone, Afrika. Kami sebelumnya hanya berkontak via aplikasi WA dan baru saling bertemu ketika Sarah menjemput saya di bandara.
Perjalanan kami 30 menit dari bandara ke pusat kota terasa nyaman bagi orang baru seperti saya, karena Sarah banyak membicarakan dinamika studi S-3 dan passion-nya menjadi mahasiswa di University of Munich, atau nama aslinya Ludwig-Maximilians-Universität, disingkat LMU. Universitas ini ada di peringkat 32 besar dunia dan terbaik di Jerman, versi pemeringkat Times Higher Education Supplement (THES-2019), seperti bisa dilihat di sini: https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/2019/world-ranking#!/page/1/length/25/sort_by/rank/sort_order/asc/cols/stats.
Informasi peringkat ini sempat membuat pikiran saya kalut membayangkan akan sulit kuliah karena pasti standarnya berat, paling berat dibanding puluhan universitas besar lainnya di Jerman.
Diundang Prof makan soto ayam
Ada keraguan apakah bisa selesai dalam waktu empat tahun sesuai rencana awal? Wah, jangan jangan saya salah pilih universitas nih...? Sarah rupanya menangkap pikiran saya dan spontan langsung berkata: Adink, jalani saja dengan semangat, pasti semua akan mudah! Yah, kamu betul Sarah: modal saya memang hanya satu: semangat!
Kedua, pertanyaan serupa muncul dari Thomas Hanitzsch, profesor pembimbing saya ketika keesokan harinya saya datang pertamakali ke kantornya di IfKW, kawasan Englischer Garten, taman kota yang diklaim terluas di Eropa. Thomas bahkan mem-print out peta lokasi masjid di mana saya bisa setiap hari sholat, dan memberi nomor kontak pribadi agar saya bisa menghubungi seaktu-waktu jika memerlukan bantuan teknis di periode awal studi.
Dua minggu berikutnya, saya merasa terhormat diundang makan siang di rumah Thomas, dengan menu soto ayam yang enak. Ini masakan mbak Mini, istri Thomas, warga asli Indonesia, persisnya Wirobrajan, Yogyakarta. Sebuah kemewahan: professor siap repot-repot dengan urusan teknis mahasiswa. Pikiran kalut kebayang kuliah susah mulai sedikit berkurang...
Banyak urusan
Bagi pendatang baru, banyak hal teknis harus diurus, mulai tempat tinggal sementara sampai mendapat hunian yang lebih permanen, registrasi ulang sebagai mahasiswa, membuka rekening bank, perpanjangan visa tinggal di imigrasi negara bagian, dll.
Bagi muslim, masjid atau musholla untuk sholat lima waktu, terutama sholat Jumat, penting diketahui lokasinya, disamping mencatat nama dan lokasi restoran & supermarket Asia yang menjual produk halal untuk keperluan dapur. Diluar urusan akademik, untuk menjaga relasi sosial dengan warga sesama Indonesia, kegiatan organisasi pelajar, klub diaspora termasuk pengajian muslim juga perlu dicatat, sekali waktu kita pasti akan menghadirinya.
Bagi saya, memahami peta kota dan trik-trik memilih makanan yang murah dan halal sangat urgen di minggu pertama. Awalnya agak rumit karena nama jalan atau info makanan umumnya memakai bahasa Jerman. Maka, sedikit bahasa isyarat dan sekali waktu tersesat di jalan, membuat kita terbiasa dan akhirnya menemukan cara sendiri beradaptasi dengan semuanya.
Hari pertama datang ke kampus, urusan administrasi menjadi agenda pokok. Lokasi tujuan hari ini adalah kantor urusan internasional (international office) di LMU, berada di lantai II kompleks gedung pusat, di Ludwigstrasse, jalan protokol yang amat sibuk di pusat kota München. Beruntung sekali, hari ini dan dua hari berikutnya Sarah bersedia menemani saya dan turut membantu berbicara dengan berbagai pihak, terutama saat membuka rekening bank di Deutsche Bank, membeli sim card lokal dan tiket transportasi publik untuk satu semester.
Saat heregistrasi, para staf kantor internasional melayani dengan bahasa Inggris yang fasih dan ramah. Mereka notabene adalah mahasiswa asing dari berbaga negara yang bekerja part-time sebagai pemandu mahasiswa baru. Lalu bagaimana proses perkuliahan dan gaya hidup mahasiswa LMU? Saya simpan dulu ceritanya untuk lain kali ya!
Suasana kota dan universitas
Jika anda berkunjung ke kota München, lokasi kampus utama LMU di kawasan kota tua München, ia berjejer dengan ratusan gedung bersejarah dan berarsitektur cantik, sepanjang Ludwigstrasse hingga Marienplatz. Gedung utama diberi nama Geschwister-Scholl-Platz, berbentuk plaza semi sirkular. Nama gedung diambil dari dua bersaudara Sophie Scholl dan Hans Scholl, dua mahasiswa LMU era Perang Dunia ke II, yang menjadi motor pengggerak White Rose resistance. Puluhan pamflet yang mereka buat kini diabadikan pada miniatur lempeng keramik di teras masuk gedung.
Foto di atas saya abadikan ketika sedang santai setelah diskusi bulanan mahasiswa S-3, dengan background gedung utama kampus, yang dulunya bekas istana salah satu raja Bavaria. Kantor sekretariat Rektor dan wakil Rektor ada di lantai 2, sedangkan Perpustakaan, Auditorium dan Mensa (kafetaria besar untuk makan siang para mahasiswa) berada di sekitar gedung tua ini. Ada sedikitnya delapan gedung tua yang difungsikan sebagai perpustakaan, yang setiap hari dipenuhi ribuan mahasiswa.
Halaman dan taman yang luas disekitarnya adalah lokasi favorit saya untuk sekedar refreshing. Gerbang tua yang kokoh dengan ornamen tentara Bavaria adalah pintu masuk kawasan kampus sekaligus kawasan kota tua München.
Ludwig-Maximilians-Universität didirikan oleh Duke Louis IX dan Raja Maximilian I pada tahun 1472, jadi kini sudah berusia 545 tahun, dengan lebih dari 700 orang professor yang mengajar di 18 fakultas dan 150 program studi. Hingga kini tercatat ada 34 orang ilmuwan dari LMU yang meraih hadiah Nobel, penghargaan bergengsi untuk penemuan teori dan inovasi teknologi dunia.
Pada tahun 2015 ada sekitar 53 ribu mahasiswa yang studi di sini, nomor dua terbesar di Jerman untuk jumlah mahasiswa. Sekitar 30 persen diantaranya berasal dari luar Jerman. Video profil singkat universitas ini bisa diakses di: https://www.en.uni-muenchen.de/about_lmu/index.html.
Oh ya, LMU juga memiliki pusat kajian Islam lintas disiplin bernama MZIS. Informasinya bisa diakses dalam tautan berikut: https://www.en.uni-muenchen.de/about_lmu/research/research_centers/islamic_studies_mzis1/index.html.
Kuliah gratis
Menurut laporan World Economic Forum tahun 2016, Jerman adalah negara terbesar ketiga yang memiliki jumlah universitas dalam ranking 300 terbaik dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris. Dari total 980 universitas terbaik dunia, Amerika Serikat menempatkan 148 universitas, Inggris 91 universitas, sedangkan Jerman 41 universitas, 22 di antaranya menempati ranking 200 terbaik dunia.
Lima besar universitas terbaik di Jerman versi THES tahun 2019 secara berurutan adalah: University of Munich, Munich University of Technology (TUM), Heidelberg University, Humbolt University Berlin, dan Freiburg University. Setiap tahun, THES membuat survei atas 1.200 universitas di dunia dengan metodologi yang ketat, didasarkan pada data publikasi internasional, jumlah mahasiswa asing dan kerjasama industri.
Yang menarik, kuliah di LMU dan juga di hampir semua universitas di Jerman gratis. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi paling sehat di Eropa, pemerintah federal Jerman mensubsidi hampir 100 persen biaya operasional perguruan tingginya. Setiap semester saya cukup membayar sekitar 120 EURO atau 1,8 juta Rupiah untuk mendapatkan update student card, subsidi biaya makan di kafetaria kampus, dan tiket gratis selama 6 bulan keliling kota Munich dengan semua moda transportasi (bus, kereta, tram, dll).
Kalau misalnya saya tidak memakai student card, maka biaya transportasi enam bulan di kota Munich bisa mencapai 8 juta Rupiah. Yang tidak menarik adalah biaya hidup di kota kiblat sepakbola Jerman ini. Sewa flat, makan di luar kampus dan sebagainya adalah yang ter-mahal di Jerman. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi paling baik di Jerman, Munich dikenal sebagai kota termahal!
Kota festival bir
München juga dijuluki kota festival minum bir terbesar Eropa dengan nama Oktoberfest, diadakan tiap awal Oktober. Tahun 1972 kota ini pernah menjadi ruan rumah Olimpiade dunia dan hingga kini bekas kompleks Olimpiade (Olympiapark) terawat sangat baik dan menjadi ruang publik warga München untuk berekreasi, olahraga, menonton konser musik dunia dan mengunjungi museum perakitan mobil BMW.
Selain dikenal sebagai tujuan wisata, München adalah kota tujuan pendidikan dan kota budaya, mirip dengan Yogyakarta, kota yang selalu saya rindukan. Selain universitas, ada puluhan pusat studi independen di luar kampus, perpustakaan umum di setiap kelurahan dan kegiatan ilmiah yang padat setiap harinya.
Salah satu lokasi yang paling saya suka adalah perpustakaan kota (Bayerisches Bibliothek), karena menyediakan ruangan khusus untuk mahasiswa S-3 belajar hingga larut malam. Menjelang ujian, kursi-kursi di perpustakaan cenderung penuh mahasiswa S-1 dan S-2. Tingkat melek huruf di Munich mencapai hampir 100 persen penduduk, sehingga mengunjungi perpustakaan sekedar membaca buku atau menonton film menjadi agenda favorit warga kota. Perpustakaan kota juga menyiapkan koleksi video lengkap yang bisa diputar gratis.
Survei terbaru Mercel.Indikator di tahun 2016 menempatkan kota ini di peringkat ke 4 sebagai kota tempat tinggal paling nyaman di dunia, setelah Wina (Austria), Zurich (Swiss) dan Auckland (Selandia Baru).
Biaya hidup mahal
Bagi saya dan kolega sesama mahasiswa non-Jerman, yang selalu teringat tentu saja bukan kenyamanan, melainkan mahalnya harga-harga di luar kampus. Untuk masuk toilet saja harus merogoh 1 EURO, atau 15 ribu! Hahahaha. "Its Munich, Adink", ujar Sarah menggambarkan kehidupan München yang begitu kompetitif, baik sebagai mahasiswa atau pekerja profesional.
Saya merasa beruntung mendapat beasiswa untuk tinggal dan studi di München, sedang Sarah harus bekerja sebagai jurnalis lepas untuk membiayai hidup dan kuliahnya! Dan ada ribuan mahasiswa lain lagi yang juga memiliki tantangan hidup serupa!
Bagi para sahabat yang berminat studi lanjut ke sini, kuliah di LMU tentu saja saya rekomendasikan. Ada ratusan mahasiswa Indonesia yang studi di sini, sebagian di LMU sebagian di TUM dan beberapa universitas lain. Pada umumnya mereka mendapat dukungan berbagai skema beasiswa dari DAAD, IGSP, DIKTI dan LPDP. Untuk mengatasi biaya hidup yang tinggi, sebaiknya memang cari beasiswa supaya aman.
Khusus bagi yang berminat untuk postdoct atau studi lanjut pasca S-3, ada kabar baik dari Center for Advanced Studies (CAJ), pusat studi di bawah LMU yang dibiayai penuh pemerintah Jerman. Setiap tahun, CAJ membuka lowongan Postdoctoral satu tahun dan biaya hidup ditanggung CAJ sebesar 1900 EURO atau sekitar 28 juta per-bulan. Informasinya bisa diikuti pada laman ini: http://www.en.cas.uni-muenchen.de/postdoc_grant/announcement/index.html…
Pertanyaan sensitif
Lalu apakabar dengan studi S-3 saya hingga saat ini? Ini pertanyaan yang tergolong sensitif bagi mahasiswa S-3 di manapun di Jerman. Dengan pola klasik, di mana progress studi kita tergantung pada interaksi dengan supervisor, independensi individual untuk menentukan kapan mau lulus sangat tinggi. Selain menjadi teman diskusi yang intensif, relasi harmonis dengan profesor pembimbing studi juga kerapkali menentukan lancar tidaknya proses studi. Sehingga setiap orang memiliki rute perjalanan studi yang relatif berbeda.
Jika harus dibuat rata-rata, waktu tempuh studi S-3 di Jerman sekitar 4-5 tahun. Ada yang lancar studinya dan bisa selesai dalam waktu 3,5 tahun, ada pula yang menghadapi banyak problem hingga baru bisa selesai saat memasuki masa studi 6-7 tahun. Secara resmi, pihak universitas atau lembaga pemberi beasiswa biasanya mematok target tiga tahun pertama harus selesai, selanjutnya kita akan diberi waktu memperpanjang beasiswa satu tahun. Pada umumnya universitas di Jerman memberi kelonggaran hingga 7-8 tahun.
Pertanyaan soal kapan selesai ini jadi bahan obrolan utama saya dengan Abit Hoxha (kolega sesama mahasiswa S-3 bimbingan Prof. Thomas) saat kami rehat minum kopi di cafeteria Fakultas Ilmu Sosial di kawasan Englischer Garten baru-baru ini. Abit berasal dari Kosovo, Eropa Timur, dan mengambil spesialisasi studi jurnalisme pasca konflik. Kami saling berbagi semangat dan informasi rencana pasca lulus S-3.
Berbeda dengan saat kedatangan awal di München yang dipenuhi perasaan galau, kali ini saya sangat antusias menjawab pertanyaan kapan selesai. Karena sejak awal Desember 2018, naskah disertasi saya dinyatakan layak ujian. Tinggal selangkah lagi melewati proses ujian akhir meraih gelar doktor. Artinya, studi saya hampir tuntas hanya dalam waktu tiga tahun tiga bulan, lebih cepat dari target semula empat tahun.
Dengan raut muka yang berbeda 100 derajat ketimbang saat pertama datang di kampus dan bertemu Sarah Oktober 2015, saya pun memotivasi Abit yang sudah memasuki masa studi lima tahun agar segera menyerahkan disertasinya tahun ini. Kami berjabat tangan erat sebelum berpisah karena saya akan balik ke Koln, kota tempat tinggal saya saat ini. Salam dari Jerman!
**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: [email protected]. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.