260511 Taliban Verhandlungen
25 Juni 2011„Bukan kami yang melakukannya“. Begitu diumumkan Taliban tak lama setelah serangan terjadi. Tampaknya, bahkan kaum pemberontakpun tidak bersedia mengaku bertanggung jawab atas serangan yang menelan begitu banyak korban. Menurut pakar Afghanistan di Kabul, Sayffudin Sayhun, sikap itu tipikal Taliban. Dijelaskannya, "Setiap kali ada serangan yang menelan banyak korban sipil, Taliban akan mengaku tidak terlibat. Meskipun serangan itu sendiri mengindikasikan, hanya bisa dilancarkan oleh sebuah organisasi yang memiliki jaringan kuat seperti Taliban.“
Menurut keterangan resmi, seorang yang tak dikenal meledakkan mobil yang diparkir di kawasan rumah sakit umum di distrik Azra, provinsi Logar pada hari Sabtu (25/6). Lebih 30 orang tewas dan puluhan terluka. Diduga masih banyak orang di bawah reruntuhan bagian rumah sakit yang terkena. Sayhun mengingatkan, Taliban tahun lalu menyatakan akan lebih sering mengincar institusi-institusi sipil sebagai target serangannya.Tujuan serangan ini adalah menggagalkan perundingan perdamaian, bahkan sebelum perundingan itu digulirkan. Tutur Sayhun, "Taliban menilai, bahwa tawaran perundingan pemerintah Afghanistan dan masyarakat internasional beranjak dari posisi yang lemah. Lalu mengapa harus berunding? Kebalikannya akan terjadi, dan serangan Taliban akan terus merebak.“
Tidak semua warga Afghanistan berpendapat serupa dengan Sayfuddin Sayhun. Menurut pakar ilmu politik profesor Sayed Masood, Taliban betul-betul tertarik merundingkan perdamaian. Namun bukan berdasarkan persyaratan yang diajukan Amerika Serikat. Washington menuntut agar Taliban meletakkan senjata dan menerima konstitusi Afghanistan. Sementara Taliban menginginkan penarikan segera seluruh tentara asing dari Afghanistan. Selain itu, agar Mullah Omar diakui sebagai penguasa legitim Afghanistan. Kedua posisi, AS dan Taliban ini begitu berbeda. Menurut Masood, itulah sebabnya Taliban meningkatkan serangannya, yakin agar Amerika bergeser dari posisinya. "Taliban serta mitra-mitranya bertindak penuh percaya diri, karena menyadari bahwa Barat sudah bosan perang. Selain itu, dengan rencana penarikan pasukan NATO, maka pemerintahan di Kabul menghadai tekanan besar.“
Serupa pendapat Omar Syarifi, direktur Pusat Penelitian Amerika untuk Afghanistan yang bermarkas di Kabul. Syarifi yang keturunan Afghanistan tapi berkewarganegaraan AS ini menilai, bahwa kedua pemerintahan Afghanistan dan Amerika Serikat menghadapi dilema. Washington dan Kabul tidak punya cukup waktu untuk bisa mendesak Taliban ke meja perundingan. Ungkapnya, "Taliban kini mampu mengatasi tekanan militer dan malah meningkatkan serangan mereka.“
Tewasnya pemimpin Al Qaida, Osama Bin Laden menurut Syarifi tidak melemahkan jaringan kelompok Islamis militan di Afghanistan dan Pakistan. Malah sebaliknya, kini solidaritas antar kelompok semakin kuat. Menurut Syarifi, Taliban baru akan bersedia berunding, apabila ada jaminan bahwa mereka akan menjadi penguasa tunggal di Afghanistan. Sebelumnya tidak.
Ratbil Shamil / Edith Koesoemawiria
Editor: Carissa Paramita