1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

BNPT Pertimbangkan Ganti Istilah Radikalisme

12 November 2019

Dianggap menyudutkan agama tertentu, DPR minta istilah 'radikalisme' diganti. BNPT mengaku akan mempertimbangkan meski tidak wajib dilakukan. Sebelumnya Presiden Jokowi usulkan 'radikalisme' diganti 'manipulator agama'.

https://p.dw.com/p/3SrSx
Irfan Idris
Foto: Privat

DPR mengusulkan agar istilah radikalisme diganti karena dinilai menyudutkan agama tertentu. Menyikapi hal itu, BNPT akan mempertimbangkannya mesti tidak wajib dilakukan.

"Itu kan usul, usul itu bukan sesuatu yang wajib. UU Nomor 5 Tahun 2018 (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) baru ditetapkan, yang namanya usul ya tentu ada dua, dipertimbangkan diterima atau melanjutkan usul radikal yang ada. Undang-undang itu sudah menegaskan jadi mungkin nanti ada pertimbangan atau catatan sendiri kalau harus diganti " ujar Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, ketika dihubungi, Senin (11/11/2019) malam.

Menurut Irfan, tidak ada yang negatif dari istilah radikalisme. Istilah yang berkata dasar radiks itu justru bermakna positif. Hanya saja kata Irfan, kurang adanya sosialisasi. Sehingga mindset seseorang tergiring mengikuti arah negatif.

"Kalau misalnya beberapa tokoh bangsa melihat radikal itu tidak cocok diksinya karena radikal itu ada positifnya, makna positifnya itu kan radiks, radiks kan itu positif, cuma karena kita tidak cukup kuat mensosialisasikan kegunaan oleh beberapa situs yang bermuatan negatif, akhirnya terkesan radikal negatif, jadi kita tergiring untuk mengikuti maunya orang orang yang tidak setuju dengan negeri ini," katanya.

Irfan mengatakan lebih baik istilah radikalisme itu disosialisasikan, daripada harus mengubah nama. Masih banyak menurutnya program yang harus dilakukan daripada mengubah istilah.

"Yang paling utama bagi kita bagi semua adalah mensosialisasikan UU Tindak Pidana Terorisme itu dan melihat sisi positif bahwasanya radikal itu berpikir komprehensif sampai ke akar-akar. Tapi karena sudah terbangun opini radikal itu negatif, jadi seolah-olah kita ikut menguatkan negatifnya radikal. Tidak selesai masalah kalau misalnya tiba-tiba baru diusul baru direncanakan langsung harus diganti. Masih banyak program lain yang lebih penting kita lakukan, penanggulangan-penanggulangan sosialisasi, pencerahan ke masyarakat," ujarnya.

"Kalau setiap istilah kita tidak paham lantas diganti nanti repot, UU belom dilaksanakan maksimal harus direvisi lagi jadinya habis waktu merevisi aturan padahal yang lebih utama iu kan subtansi," lanjut Irfan.

Baca jugaKontroversi Wacana Pelarangan Penggunaan Cadar di Instansi Pemerintah

'Normalisasi kehidupan'

Menanggapi ini, pengamat terorisme menyetujui hal itu.

"Usulan yang baik. Presiden sudah usulkan 'radikalisme' diganti 'manipulator agama'. Ekstremisme aku pikir juga bisa," ujar pengamat intelijen dan terorisme UI, Ridlwan Habib, ketika dihubungi, Senin (11/11/2019) malam.

Begitu juga, menurut Ridlwan, kata 'deradikalisasi'. Dia mengatakan kata itu sulit dipahami orang yang disasar.

"Termasuk sebenarnya istilah 'deradikalisasi', sebaiknya diganti dengan 'normalisasi kehidupan beragama'," ucapnya.

Dia memberi contoh diksi 'deradikalisasi' yang disederhanakan menjadi 'normalisasi kehidupan' di lingkungan Lapas Gunung Sindur. Diksi 'normalisasi' itu justru memberi dampak positif bagi para napi.

"Saya contohkan di Lapas Gunung Sindur, istilah 'deradikalisasi' diganti 'normalisasi' oleh teman teman yayasan NiruNabi, alhamdulillah napi mau ikutan program menghafal Al-quran juz 30. Berdampak ke perilaku," kata alumni Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen UI ini.

"Mereka jadi sadar bahwa ternyata mereka selama ini nggak hafal Al-quran juz 30 pun tidak hafal. Makanya setelah ikut itu, pelan-pelan mereka menjadi pribadi normal lagi," tutur Ridlwan.

Baca jugaPengamat: WNI Eks-Kombatan ISIS Harus Dirangkul Oleh Negara

Dianggap menyudutkan agama tertentu

Sebelumnya, anggota komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding mengusulkan kepada Kepala BNPT Suhardi Alius untuk mengubah diksi radikalisme menjadi istilah lain. Dia meminta kata radikalisme diganti dengan violent extremism atau kekerasan ekstrem.

Hal itu dikatakan oleh anggota Komisi III DPR F-PAN Syarifuddin Sudding saat rapat bersama BNPT di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019). Menurut Sarifuddin, kata radikalisme itu tanpa sengaja langsung menyudutkan agama tertentu.

"Pak Suhardi, saya sebenarnya nggak setuju sama diksi radikalisasi, diksi ini muncul di masa Orde Baru yang berkaitan mengarah ke kiri. Tapi pasca-Orde Baru ini, sehingga sudah ke kanan. Di beberapa kejadian juga dilakukan oleh nonmuslim di Selandia Baru dan lain-lain itu kan kekerasan. Apakah kita nggak bisa gunakan diksi ekstremis atau kekerasan?" Kata Sudding saat rapat.

Diketahui, Kepala BNPT Suhardi Alius dan Komisi III DPR menggelar rapat kerja. Rapat membahas terkait capaian kerja BNPT dalam penuntasan kasus teror serta hasil pemeriksaan keuangan sementara BPK terkait anggaran BNPT.

Dalam rapat, Suhardi mengatakan hasil pengamatan BNPT orang yang melakukan aksi terorisme seperti meledakkan bom di suatu tempat umum tertentu itu karena keinginannya untuk hijrah ke Suriah tak terpenuhi. BNPT juga dalam hal ini sudah bekerja sama dengan Densus 88 Antiteror Polri.

Dia juga memaparkan hasil BPK sementara terkait laporan keuangan BNPT. Dia mengatakan BPK telah memberikan 8 rekomendasi dan 7 temuan atas anggaran BNPT, dan rekomendasi itu telah ditindaklanjuti oleh BNPT. (Ed: rap/gtp)

Baca selengkapnya di: Detik News

Soal Penggantian Istilah Radikalisme, BNPT: Usul Tidak Wajib

Pengamat Teror dari UI Dukung Jokowi Ganti Istilah Radikalisme

Anggota Komisi III DPR Usul ke BNPT Istilah Radikalisme Diganti