Bermodal Berani dan Ulet, Buka Warung di Negeri Orang
5 Agustus 2023Asap tampak mengepul di atas tempat memanggang. Dari jauh tercium wangi khas sate yang sudah matang dibakar. Ketika didekati terdengar suara mendesis dari minyak yang menetes ke besi pemanggang. Beberapa tusuk sate ayam terletak di piring dari daun palem bersama acar. Semerbak saus kacang tambah menguatkan rasa lapar dan rasa rindu akan tanah air.
"Selamat siang, Bu," kata Jeannette Carbonaro dengan ramah, dari balik konter di kiosk street food miliknya. Di pojok konter berdiri sebuah wayang golek dan sebuah pot anggrek berwarna merah jambu. "Saya juga buat sambal sendiri," katanya sambil menunjuk ke sebuah botol di atas konter dan menambahkan, "silahkan coba!"
Di sebelah botol berisi sambal terletak setumpuk kartu namanya. Di atasnya tertera Mama Kocht für Dich, yang artinya: ibu memasak untuk kamu. Nama itu juga bisa ditemukan di jejaring sosial Facebook, Instagram dan TikTok. Tentu saja, ia juga punya situs bisnis dengan nama sama.
Berimigrasi ke negeri orang
Jeannette Carbonaro lahir di Makasar. Nama kelahirannya Jeannette Goudsmit. Ayahnya berdarah Belanda dan Afrika, sementara ibunya berasal dari Gorontalo.
1965 ia bersama ayah-ibu dan saudara-saudaranya pindah ke Belanda. Sejak 1950 semua kakak ayahnya sudah bermukim di Belanda. Tapi ibu dari Jeannette tidak mau pindah ke Belanda, karena hanya dia sendiri yang orang Indonesia sepenuhnya. Istri dari saudara-saudara ayahnya semua separuh berdarah Indonesia dan separuh lagi Belanda.
Tapi karena ayah Jeannette kemudian sakit, saudara-saudaranya di Belanda memanggil dia kembali ke Belanda beserta seluruh keluarganya, agar mereka bisa ikut membiayai dan mengurus Jeannette bersaudara. Hanya kakak Jeannette yang paling tua yang tidak ikut pindah, karena dia sudah menikah dengan seorang pria asal Bandung, dan sampai sekarang masih menetap di sana. "Dia sendiri di Indonesia," katanya ketika menceritakan tentang kakaknya, "dan saya sendiri di Jerman, yang lainnya semua di Belanda," katanya sambil tersenyum.
Jeannette bercerita, ketika datang ke Belanda, bahasa negara kincir angin itu sudah tidak asing lagi bagi dia, karena sejak kecil dia sudah diajarkan bahasa Belanda oleh ayahnya. Menurut dia, mulai tahun 1950 bahasa Belanda sudah tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah Indonesia. Oleh karena itu, dia hanya belajar dari ayahnya, sementara tiga kakaknya masih sempat sekolah Belanda.
Setelah tamat menimba ilmu di Belanda, dia bekerja sebagai akuntan. Pada suatu hari, ketika sedang berlibur tiga hari bersama adik dan temannya di kota Amsterdam, dia bertemu dengan pria yang kemudian jadi suaminya, Roberto Carbonaro. Suaminya berasal dari Italia dan tinggal di Jerman.
Awalnya dia meminta suaminya untuk pindah ke Belanda. Namun ketika itu, tahun 1985, suaminya tidak bisa berbicara bahasa Belanda. Sedangkan Jeannette dulu belajar beberapa bahasa asing ketika masih bersekolah, antara lain bahasa Jerman, sehingga dia bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Karena dia merasa lebih mudah mendapat pekerjaan daripada suaminya, akhirnya dia memutuskan pindah ke Jerman.
Dalam beberapa tahun pertama bermukim di Jerman, dia tidak bekerja. Saat itu putranya lahir. "Abis itu, udah saya cari-cari kerja. Karena bosen di rumah, karena dulu-dulu kan kerja terus, tiba-tiba di rumah aja," katanya sambil tertawa. Ia kemudian mulai bekerja di sebuah Möbelhaus, atau perusahaan penjual mebel, di bagian akuntansi juga. "Buat saya kan gampang, karena saya bisa bahasa Jerman, dan di Belanda dulu kerja Buchhaltung [akuntansi] juga."
Sayangnya, setelah bekerja hampir 10 tahun di toko itu, Jeannette terpaksa berhenti. "Mereka pindah ke Frechen dan saya ga mau ikut," katanya. Kota Frechen terletak sekitar 35 kilometer di sebelah barat laut kota Bonn.
Namun bagi dia tidak sulit untuk mendapat pekerjaan baru. Pekerjaan berikutnya ia peroleh di Köln-Bonn Flughafen atau bandar udara Köln-Bonn. "Jadi karena saya pintar bahasa, bisa Jerman, bisa Belanda, Indonesia, Inggris, saya bisa kerja di sana," begitu dijelaskan Jeannette. Di bandar udara yang berlokasi di antara kota Köln dan Bonn itu, dia juga bekerja selama 10 tahun. "Terakhir saya jadi supervisor [pengawas]," katanya.
Buka warung di negeri orang
Sekarang Jeannette sudah masuk usia pensiun. Namun ia berpendapat ini bukan waktunya beristirahat, dan ia tetap ingin maju. Kebetulan, tahun 2015 anaknya pergi ke acara street food atau makanan jalanan, yang diadakan di kota Köln. Setelah kembali, anaknya bercerita, bahwa di sana tidak ada masakan Indonesia yang dijajakan. Anaknya lalu bertanya, "Mami, kamu ga mau coba?"
Awalnya Jeannette kurang yakin, sehingga ia terlebih dahulu meminta pendapat kakaknya yang punya restoran di Belanda. Kakaknya memberikan dorongan, sehingga dia kemudian mencoba. Namun dia tidak mau membuka restoran. Dia hanya menggunakan semacam kiosk kecil dengan konter yang bisa didirikan di mana saja. Ternyata ia sukses. "Saya jadi diundang ke sini, diundang ke sana," tutur Jeannette sambil tertawa. Selain berpartisipasi dalam acara street food di berbagai lokasi di Jerman, ia juga menerima pesanan catering. Lewat situsnya di Internet, dia juga menjual sambal dan saus untuk sate yang ia buat sendiri. Semua dengan merek Mama Kocht für Dich.
Konsulat Indonesia di Hamburg juga kerap memesan masakan, misalnya untuk acara pameran di Köln Messe, di mana Jeannette yang membuat masakan untuk orang Indonesia yang datang dan bekerja di sana. Jika mendapat pesanan, maka ia memasak untuk 200 atau 300 orang. Semua perlengkapan dan kiosknya bisa ia angkut sendiri dengan mobil berukuran besar.
"Jumat, Sabtu, Minggu itu saya ikut street food." Lokasinya bisa berbeda-beda. Begitu dijelaskan Jeannette. Semua bahan biasanya sudah ia siapkan dari rumah. Kemudian setiap porsi ia selesaikan di depan setiap orang yang memesan masakan di kiosknya. Ia bercerita, biasanya ia mengolah daging sapi sekitar 100 kg, dan 100 kg daging ayam yang dimasak dengan bumbu merah pedas. Itu biasanya untuk tiga ratus porsi. "Yah, jadi bibi lah, yang masak," katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Untuk membuat masakan bagi ratusan orang, tentu melibatkan pekerjaan yang sangat banyak, kata Jeannette. "Tapi itu hobi," katanya lagi, dan menambahkan sambil tertawa, "Dulu-dulu ga bisa masak, sekarang bisa." Anaknya juga selalu mendorong agar dia mencoba hal baru.
Ketika ditanya, anaknya senang memasak juga, ia berkata, putranya tidak bisa masak, dan putrinya masih coba-coba, tapi masakan Indonesia belum bisa. "Mereka senang makan," katanya, "tapi saya yang musti bikin."
Menurut Jeannette, suaminya juga tidak bisa memasak, tapi bersedia membantu, misalnya membakar sate. Anaknya yang laki-laki juga jadi manajernya. "Dia punya ide banyak sekali. Saya yang musti ausführen [melaksanakan]," tuturnya sambil tertawa lagi.
Cinta dengan memasak
Menurut Jeannette, masakan Indonesia belum dikenal di Jerman. Dulu, bisnisnya bernama "Warung Indonesia". Tapi karena nama itu, orang Jerman banyak yang merasa heran. Mereka tidak membaca "warung," melainkan Warnung yang dalam bahasa Jerman berarti peringatan. Jadi orang Jerman yang melihat nama itu kerap bertanya kepada dia, mengapa mereka harus diberikan peringatan terhadap Indonesia, dan Jeannette biasanya menjelaskan bagaimana warung yang bisa ditemukan di mana-mana di Indonesia.
Sampai akhirnya putranya mengganti nama "Warung Indonesia" menjadi Mama Kocht für Dich yang artinya ibu memasak untuk kamu. "Biar bagaimana, memang mamak-mamak, kan ya, yang selalu masak buat orang-orang," tuturnya sambil tertawa lagi.
Ia bercerita, ia biasanya melewatkan Natal di Jerman dan Belanda secara bergantian. Jika berada di Belanda, dia biasanya masak bagi seluruh keluarga besar di restoran milik kakaknya. Jika mereka kakak beradik bersama keluarga masing-masing berkumpul, biasanya sampai 50 orang. "Saya memang ada Liebe [kecintaan] buat memasak," ujarnya.
Menanggapi tantangan di negeri orang
Jeannette mengemukakan, sebagai orang Indonesia, jika berhadapan dengan orang Jerman, hampir sama dengan orang Belanda. Harus berani berbicara, dan menyatakan pendapat. Dia kerap mengatakan kepada perempuan lain yang juga orang Indonesia, "Kamu musti maju. Kita kan bukan bodoh. Yang kamu pikirkan, keluarkan aja, jangan takut."
Dia juga bersedia menolong perempuan Indonesia lain yang merasa segan untuk meminta bantuan, dan tidak mendapat sokongan memadai dari suami mereka yang orang Jerman. Jeannette selalu mendorong perempuan-perempuan lain untuk berani. "Kita orang Indonesia bukan bodoh. Kamu harus bangga jadi orang Indonesia. Jangan diinjak!" begitu selalu ia tegaskan. Untuk perempuan lain yang belum pernah berjualan makanan di acara-acara di Jerman, dia mengajarkan bagaimana caranya dan apa saja yang harus diperhatikan, misalnya harus memiliki surat kesehatan.
Menanggapi perang yang terus berkecamuk di Ukraina dia mengatakan tidak suka. "Kita kan sama-sama manusia, kenapa musti pake perang-perang? Kenapa musti bunuh-bunuh orang?" Dia juga menyesali karena sebagai dampak perang, harga bahan bakar menjadi sangat tinggi. "Wah, rasanya yang dipukul rakyat kaya' kita. Yang setengah mati kita," ujar Jeannette. Tapi secara umum dia memandang masa depan dengan positif. "Denk einfach positif [berpikir positif saja]," kata Jeannette yang sudah bermukim di Jerman selama 37 tahun.
Jeannette bercerita, di Belanda lebih bebas dalam hal tata krama berbicara. Orang tidak membedakan antara Sie dan Du, yang sepadan dengan Anda dan kamu. Dia bercerita, tahun 1985 ketika baru datang di Jerman, dia menyapa dokternya dengan kata Du bukan Sie. Suaminya kemudian menegur dia dengan mengatakan, "Eh, kamu itu satu sekolah sama dia? Di sini ga boleh pakai Du." Ketika dia bekerja sebagai akuntan, atasannya mengatakan, jika mereka cuma berdua saja, dia boleh memanggil atasannya Josef, dan atasannya memanggil dia Jeannette. Kalau ada orang ke tiga, dia harus menyebut atasannya Herr Hausmann atau Tuan Hausmann.
Selain itu, antara Jerman dan Belanda juga ada perbedaan dalam hal disiplin. "Di sini [di Jerman] keras disiplinnya. Pokoknya kalau jam 9 harus datang, harus jam 9," ungkap Jeannette. Dia bercerita, ketika bekerja sebagai supervisor di bandar udara Köln-Bonn, dia membawahi antara 10 sampai 15 pegawai. Ketika itu dia belajar bagaimana melaksanakan disiplin, dan dia juga lebih senang jika pekerjaan dilaksanakan dengan disiplin.
Menurut Jeannette, di Belanda juga begitu. "Tapi mereka lebih locker [tidak ketat]," katanya, dan menambahkan sambil tertawa, "mereka lebih menschlich [manusiawi]." Jadi jika pegawai datang terlambat dan mengatakan alasannya terlambat adalah karena hujan, atau karena bus datang terlambat, orang Belanda bersedia mengerti. "Kalau di sini [di Jerman] ngomong begitu, yah... was erzählst Du da [alasan macam apa itu]?!"
Namun untuk orang Indonesia yang ingin bekerja di Jerman, dia menekankan untuk tidak merasa takut. "Walaupun tidak pintar bahasa, harus tunjukkan diri. Ini saya lo. Saya mau kerja." Dia menambahkan pula, sebagai orang Indonesia kita harus menunjukkan bahwa kita pintar. "Musti kasi lihat mukamu, dan katakan, 'saya bisa'." (ml/hp)