Pilih Keluarga Walaupun Berkarier di Beberapa Negara
2 September 2022Maria Wilhelmina Kölbel, yang panggilannya Maria lahir di Jakarta. Dia berkuliah di Program Studi Jerman, Universitas Indonesia, yang dulu termasuk Fakultas Sastra. Maria bercerita, "Waktu saya kuliah, saya cuma tau, pengen cepet-cepet tamat, punya gelar sarjana ... that's it!" katanya sambil tertawa dan menambahkan, "Terus, kerja!" Pokoknya mau menjadi profesional. "Tapi profesionalnya apa, ga tau," begitu dikatakan Maria. Sedangkan waktu kecil, cita-citanya sebenarnya ingin menjadi dirigen orkestra.
Pilihannya untuk berkuliah di jurusan sastra Jerman sebetulnya karena dulu ketika tamat SMA, nilainya yang terbaik adalah di bidang bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Setelah mengikuti UMPTN dan mendaftar di kedua jurusan itu, ia mendapat tempat di jurusan Jerman.
Tahun 2001 Maria datang untuk pertama kalinya ke Jerman. Ketika itu ia sedang bekerja di perusahaan Jerman, Siemens di Jakarta, dan tahun itu ia dipindahkan untuk bertugas di kantor pusat Siemens di Erlangen, Jerman Selatan. Tepatnya di bagian yang ketika itu bernama Siemens Automation and Drives. Ia bekerja di departmen komunikasi pemasaran, sebagai "regional consultant."
Maria bercerita, ketika itu untuk berkomunikasi dia bisa menggunakan pengetahuan yang ia peroleh saat kuliah, tepatnya pengetahuan bahasa dan tentang Jerman serta perspektif Jerman. Sedangkan berbagai pengetahuan tentang bisnis, ekonomi dan marketing banyak ia peroleh karena sering membaca dari berbagai sumber. Selain itu dari ayahnya ia belajar sangat banyak. Maria bercerita, ayahnya dulu berkuliah di bidang ekonomi, dan bekerja di bidang bisnis, logistik serta marketing.
Bulan Mei tahun 2004, ia meninggalkan Jerman karena dipindahtugaskan ke Siemens Egypt. Ketika itu ia diminta untuk memimpin departemen Corporate Communications di Simens Kairo. Di Mesir ia bekerja hingga akhir 2004. Setelah itu Januari 2005 Maria mulai bekerja di Bina Nusantara, Jakarta, hingga Juni 2006. Dan Juli 2006 hingga Agustus 2008, dia bekerja di Qatar Telecom di Doha.
Tahun 2008, Maria mulai menetap di Jerman, setelah menikah dengan suaminya yang berasal dari Jerman. Mereka dikaruniai satu anak. Sekarang, sebagian besar pekerjaannya adalah mengajar, tepatnya mengajar atau melatih bahasa Inggris. Itu dilakukannya di beberapa institusi, jadi untuk karyawan, dan di Volkshochschule, atau sekolah rakyat. Ia juga bekerja di perusahaan, yaitu di bidang komunikasi bisnis. "Jadi bukan cuma bahasa Inggris saja, melainkan sudah dalam konteks bisnis," begitu dijelaskan Maria.
Ia memaparkan, bekerja di kantor seperti dulu tentu berbeda dengan mengajar di kelas, seperti di Volkshochschule. Mengajar di kantor juga berbeda, karena konteksnya perusahaan. "Tapi mungkin karena saya dari dulu bekerja di bidang komunikasi, modal dasar untuk berkomunikasi dengan orang sudah ada." Tapi dulu ketika "jam terbangnya" untuk mengajar di kelas masih rendah, dia memang menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan diri. "Jadi saya belajar dengan 'learning by doing'. Dan saya juga ikut seminar-seminar." Begitu dijelaskan Maria sambil tersenyum.
Menyesuaikan diri di negeri orang
Maria becerita agak sulit untuk menyesuaikan diri, ketika baru pindah dari Jerman ke Mesir. Karena setiap negara memang berbeda, kata Maria, dan menambahkan, setiap negara punya gaya komunikasi sendiri, dan karakter sendiri. "Dan saya pindah dari 'European culture' ke 'Middle Eastern culture.' Jadi awalnya agak syok juga." Lagi pula, seperti diungkap Maria, dia orang Indonesia tetapi dikirim oleh kantor pusat Siemens di Jerman ke Mesir, untuk memimpin departemen yang pekerjanya orang lokal semua. Selain itu, tidak banyak departemen yang dipimpin oleh perempuan.
Ia menceritakan pula, karena sudah lama berkecimpung dalam perusahaan, dan sekarang hanya sebatas memberikan pelatihan dan mengajarkan bahasa, ia kadang merasa rindu untuk kembali bekerja di kantor. "Ada orang yang tidak suka dengan 'corporate environment'," kata Maria, "tapi kalau saya sih suka." Memang merindukan, katanya, tapi situasinya sekarang sudah berbeda. "Sekarang saya punya anak. Dan kalau punya anak harus diurus. Jadi kalau punya pekerjaan harus disesuaikan dengan jadwal keluarga atau jadwal anak."
Oleh sebab itu, bagi Maria, untuk menjaga keserasian antara hidup sebagai pekerja dan di rumah tangga, dia memilih bentuk pekerjaan sebagai "freelancer." Karena dengan cara itu, dia bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri. "Sekarang saya tidak terbayang kalau harus bekerja di 'corporate' seperti dulu lagi."
Ia menambahkan, dulu sebelum menikah, pekerjaannya banyak melibatkan tempat kerja yang berpindah-pindah, juga perjalanan dinas. Ia merasa, pekerjaan seperti itu tidak mudah lagi untuk dilakukan kalau sudah punya keluarga dan punya anak.
Ketika ditanya, apakah bagi dirinya sudah jadi panggilan untuk punya keluarga dan punya anak? Maria dengan tertawa menjawab, "Kalau saya sih gampang formulanya. Kalau memilih sesuatu berarti mendapatkan sesuatu dan kehilangan yang lain. Kalau bisa dapat dua-duanya itu seperti menang lotre."
Lingkungan perusahaan di Jerman berbeda dengan di Indonesia
Bagi Maria, perbedaan-perbedaan kebudayaan yang dihadapi jika berada di negeri orang jadi tantangan terbesar. "Lingkungan perusahaan di Jerman berbeda dengan di Indonesia," demikian kata Maria, "dan gaya komunikasinya juga berbeda sekali. Selain itu, yang juga jadi tantangan, tentu saja bahasa," begitu tandas Maria. Karena, walaupun sebagai orang Indonesia kita mampu berbicara dalam bahasa Jerman, tentu berbeda dengan mereka yang penutur asli.
Kembali ke gaya komunikasi, Maria mengungkap, di Indonesia, misalnya dalam sebuah rapat, orang biasanya tidak mengatakan sesuatu jika tidak merasa mengetahui masalahnya seratus persen. Di Jerman sangat berbeda. "Kalau ada 'meeting' kadang siapa yang ngomong terus, dialah yang dapat perhatian pertama." Dia menambahkan, "Sementara kita orang Indonesia, kalau melihat ada orang ngomong terus kita akan cenderung diem, daripada minta momentum untuk bicara juga."
Dia melihat dari pengalamannya di Indonesia, jika pada akhir rapat atasan bertanya, apa ada yang ingin mengatakan sesuatu, biasanya tidak ada yang mengatakan apa-apa lagi. Sedangkan di Jerman, orang biasanya mengatakan sesuatu lagi. Menurut pendapat Maria, jika kebetulan orang memiliki atas yang mengerti masalah perbedaan kebudayaan itu, maka si atasan akan secara khusus memberikan waktu berbicara, bagi orang yang belum mengatakan apa-apa.
"Lagipula, di Indonesia, biasanya jika atasan belum buka mulut, ga ada yang berani buka mulut. Sementara di Jerman kadang kitalah yang harus buka mulut duluan," begitu diungkap Maria.
Sekarang, mengingat pekerjaannya sudah berbeda, dia menghadapi tantangan yang berbeda pula. Sekarang, tantangan berkaitan dengan namanya, yang memakai nama keluarga suami, yaitu Maria Kölbel.
Dia mengungkap, sebagian besar orang yang mendaftar untuk kursus-kursusnya melihat namanya dari katalog kursus di Volkshochschule, atau mendapat rekomendasi dari orang lain. Mereka tentu juga melihat namanya sebagai guru bahasa Inggris. Jadi di hari pertama kursus, mereka baru melihat bahwa guru bahasa Inggris mereka adalah orang Indonesia, dan mereka merasa heran. "Itu tantangan pertamanya dulu, tantangan mental," kata Maria sambil tertawa.
Sekarang dia sangat menikmati pekerjaannya. Dia juga senang melihat, bagaimana orang-orang yang dulu terkejut melihat dia, kini menganggap dia sebagai guru favorit. Bahkan ada yang terus mendaftar ke kursus yang ia pimpin.
Pergesekan budaya di kota kecil
Menurut Maria, jika tinggal di kota besar di Jerman, pergesekan budaya tidak terlalu terrasa. Lain halnya jika tinggal di kota kecil seperti dia. Kemungkinan, jika orang tinggal di kota besar, orang itu akan lebih banyak melihat orang dari negara lain, dan bersentuhan dengan kebudayaan lain. Lain halnya jika tinggal di kota kecil.
Dia bercerita, dia pernah dihentikan polisi, yang meminta dia menunjukkan kartu tanda pengenal. Ketika melihat nama Jakarta, yang jadi kota kelahirannya, polisi itu harus bertanya di manakah Jakarta. Maka Maria bertanya sambil tertawa, "Dulu waktu pelajaran geografi suka bolos, ya?" Dia menambahkan, "Untung polisinya baik, polisi muda, cuma senyam-senyum." Jadi mungkin sebetulnya bukan pergesekan budaya, begitu kesimpulan Maria, "Cuma perbedaan exposure ke kebudayaan lain."
Belajar setiap hari
Bagi Maria setiap hari selalu berisi pelajaran tersendiri untuk hidup. Kembali ke komunikasi, ia menekankan, mungkin tidak perlu mengetahui sesuatu secara seratus persen, sebelum kita mengungkapkan pendapat. Dalam konteks-konteks tertentu, itu juga tidak dituntut. "Jadi pd [percaya diri] aja kalau mau mengungkapkan pendapat."
Dia bercerita bahwa sebagian besar orang yang datang ke pelatihan yang ia pimpin, berasal dari perusahaan menengah, bukan perusahaan besar seperti Siemens. Dia melihat bahwa komunikasi dan cara pengambilan keputusan di perusahaan menengah berbeda dengan di perusahaan besar seperti Siemens. Jadi pelatihan yang diberikan kepada karyawannya juga berbeda, dan itu harus dilihat setiap hari.
Maria mengambil sebuah contoh hari, di mana ia hanya mengajar satu group saja. Dia bercerita, hari itu, tema pelajarannya adalah masa lalu. Sedangkan pelajaran yang ia peroleh dari hari itu adalah: tidak semua orang senang membicarakan tentang masa lalu.
Kadang sebagai guru, orang mengajar sesuai tema di buku. Jika temanya tentang past tense atau past participle, yang dibicarakan adalah masa lalu. "Apalagi saya, sebagai orang yang ekstrover, merasa tidak punya masalah untuk membicarakan masa lalu," papar Maria. Jadi pelajaran bagi dia hari itu adalah, harus lebih sensitif jika mengajukan pertanyaan.
Untuk orang-orang Indonesia yang ingin berimigrasi ke Jerman, Maria memberikan saran, orang itu harus cari tahu sebanyak mungkin tentang negeri yang akan ia datangi. Dan tentu saja, belajar bahasanya, kata Maria. Karena jika kita bisa berkomunikasi dengan bahasa negara sasaran, itu ibaratnya sudah membuka pintu. (ml/hp)