Menjadi manusia berarti menjadi spesies yang pandai berangan-angan. Yuval Noah Harari, sejarawan asal Israel yang karirnya tengah meroket belakangan ini, menyebutnya sebagai kemampuan manusia untuk membangun cerita-cerita fiksi, atau mitos-mitos, untuk mengikat sekelompok manusia lainnya demi tujuan besar bersama. Mitos-mitos itu dapat berupa agama, ideologi, sistem moneter, bahkan hasrat-hasrat manusiawi seperti hak asasi, kemerdekaan, dan lain-lain, menjadikan gerak perkembangan peradaban manusia begitu dinamis, meninggalkan spesies-spesies lainnya. Homo sapiens menjadi makhluk adikuasa di muka Bumi.
Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21st Century adalah tiga buku Harari yang dengan lugas membahas masa lalu, juga terkaan-terkaannya terhadap masa depan, manusia dalam kiatnya merajut dan mengembangkan mitos-mitos tersebut. Menurutnya, kemampuan berimajinasi tidak hanya sukses membawa manusia ke puncak rantai makanan namun juga melahirkan bencana bagi mereka sendiri, semisal kelaparan, wabah penyakit, dan perang. Jika hewan dan manusia bisa memahami manusia, mungkin mereka akan menganggap kita sebagai dewa gila yang senang menyakiti diri sendiri.
Satu contoh sukses dari imajinasi manusia adalah sains dan teknologi. Keduanya memicu revolusi industri, dan dalam waktu singkat corak peradaban manusia berubah drastis dari zaman-zaman sebelumnya. Mesin-mesin kompleks, perangkat ciptaan untuk mempermudah kerja manusia, menjadi instrumen vital penunjang kehidupan manusia modern.
Ada empat fase revolusi industri. Revolusi industri pertama terjadi di Barat selama abad ke-18 dan ke-19, menghadirkan mesin uap yang mentransformasi masyarakat bertani menjadi masyarakat industri urban. Fase kedua adalah revolusi teknologi, yakni kelanjutan dari fase sebelumnya dengan kian besarnya produksi massal, pengeboran minyak bumi, juga elektrifikasi yang berlangsung pada paruh awal abad ke-20. Fase ketiga berlangsung sejak tahun 1980-an sampai sekarang, kita mengenalnya sebagai revolusi digital dengan perangkat komputer, telepon pintar, dan internet sebagai produk khasnya.
Memanusiakan Robot, Merobotkan Manusia
Yang kini tengah diperdebatkan luas adalah fase keempat, pakar menyebutnya revolusi industri 4.0. Dalam fase ini, ilmu robotika, kesadaran buatan, rekayasa genetika, otomatisasi mesin, mencapai puncak pemanfaatannya sehingga banyak pekerjaan-pekerjaan yang tadinya dikerjakan manusia kini dialihkan ke mesin-mesin. Fase 4.0 juga memperkenalkan falsafah dataisme; kepercayaan bahwa hasil proses data melalui algoritma komputer adalah tuntunan terbaik dalam memaksimalkan potensi hidup seluruh manusia.
Pertanyaannya, jika dengan bantuan rekayasa teknologi banyak hal dapat berjalan jauh lebih cepat, efisien, dan tepat guna, masih perlukah manusia untuk bekerja? Robot-robot medis yang mampu beroperasi sendiridengan algoritma data akan memiliki tingkat keberhasilan dalam mendiagnosa pasien dengan lebih tepat dibandingkan dokter manusia yang memiliki kecenderungan malpraktek. Begitu pula dengan supir taksi, guru, wasit olahraga, koki, bartender, yang diperkirakan segera digantikan dengan robot. Bahkan kini robot sudah mampu mengaransemen musik dan melukis; cita rasa seni tidak lagi khas manusia semata.
Dahulu mesin memang menggantikan kerja manusia dalam beberapa sektor, tetapi ia juga menciptakan peluang-peluang kerja baru di sektor lain yang tidak dapat dikerjakan mesin. Biasanya, sebenci apapun elit-elit korporasi terhadap serikat pekerja yang kerap menuntut upah lebih tinggi, toh mereka tidak akan sampai melakukan pemecatan besar-besaran karena itu sama saja mematikan usaha mereka sendiri. Andaipun terjadi mereka juga masih bisa mencari orang-orang lain untuk dieksploitasi. Namun ke depan, alih fungsi tenaga kerja diperkirakan cenderung minimal dan mayoritas manusia akan kehilangan pekerjaan.
Jika revolusi industri 4.0 telah mencapai puncaknya dan otomatisasi menjadi sistem universal dalam proses produksi dunia, masalahnya tidak lagi tentang eksploitasi manusia, namun ketidakbutuhan terhadap kontribusi manusia itu sendiri. Harari menyebutnya sebagai kelas "manusia tak berguna”. Solusi Harari adalah menyediakan sistem upah dan kesehatan universal, dan sebagai pengganti kerja, manusia akan disibukkan dengan teknologi virtual reality dan konsumsi obat-obatan psikedelik. Manusia bisa hidup makmur tanpa perlu mengejar ambisi-ambisi keduniawian.
Jika diimbangi dengan kebijakan kontrol populasi yang tepat, agaknya kondisi tersebut ideal untuk mengurangi jumlah manusia yang sudah terlewat banyak di Bumi ini. Masalahnya, perubahan itu tidak akan terjadi dalam semalam. Negara-negara maju mungkin yang pertama kali akan menikmati buah utama revolusi industri 4.0, namun di saat bersamaan memukul perekonomian mitra-mitranya di negara-negara miskin dan berkembang yang masih mengutamakan tenaga kerja manusia.
Disparitas ini tentu menimbulkan gejolak di kalangan kelas pekerja yang tidak siap mengikuti perubahan. Di Indonesia, hal ini harus diwaspadai mengingat pada dekade-dekade mendatang kita akan mengalami bonus demografi. Apakah pemerintah sudah mempersiapkan diri untuk menampung kelebihan jumlah orang-orang berusia produktif tersebut ke dalam sektor-sektor kerja, yang opsinya akan kian sedikit? Jika tidak, maka pemerintah harus bersiap-siap menghadapi amukan rakyatnya sendiri yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan; karena memang tidak ada yang membutuhkan mayoritas keahlian mereka.
Indonesia dan Mentalitas Bersaing
Sehingga, jika tak ingin ketinggalan, pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini harus mempersiapkan kebijakan strategis untuk menyambut era revolusi industri 4.0 sebagai pihak yang akhirnya mampu menghadirkan kemakmuran bersama, bukan penonton atau pengucap jargon-jargon semata. Sangat patut ditunggu akan seperti apa langkah Presiden Jokowi dan jajarannya dalam fase kepemimpinan di periode kedua nanti dalam menanggapi tren revolusi industri 4.0 ini lebih lanjut.
Misalnya saja, Kementrian Perindustrian menyebutkan bahwa setidaknya ada empat langkah agar Indonesia segera menyelaraskan visi perkembangannya dengan tren revolusi industri. Yakni (1), meningkatkan taraf melek internet para pelaku industri, (2) melakukan sinergi antara industri kecil dan menengah dengan teknologi digital, (3) pemanfaatan sistem teknologi seperti Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud, dan Augmented Reality untuk kepentingan industri nasional, serta (4) mendorong pengembangan startup berbasis teknologi dengan memfasilitasi inkubasi bisnis.
Tentu untuk mencapai tersebut negara ini harus memiliki ekosistem bernegara dan bermasyarakat yang sadar bahwa kemajuan adalah harga mati yang harus dicapai, namun tentu dengan tidak menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan yang penting. Dengan kata lain, kini kita sebagai orang Indonesia harus meningkatkan keahlian, kreativitas, dan mental baja untuk bekerja bukan hanya untuk bersaing melawan sesama manusia, namun juga robot-robot di masa depan.
Patut dinanti, apakah berjuta-juta kepala yang menjadi bonus demografi Indonesia di masa depan kelak akan menjadi sebuah keuntungan atau beban dalam agenda mengintegrasikan Indonesia lebih dalam dengan pemanfaatan sains dan teknologi dalam berbagai segi kehidupan.
Kemanusiaan agaknya tengah memasuki masa senjakala berkat teknologi. Berujung kepunahankah? Atau setidaknya depopulasi besar-besaran sebagaimana diceritakan banyak kisah-kisah fiksi yang menggambarkan masa depan peradaban manusia dalam balutan distopia? Mungkin saja. Namun, ada satu faktor yang patut diperhatikan: tabiat manusia itu sendiri. Manusia memiliki insting bertahan hidup yang kuat dan terlalu sombong untuk mengakui nasib buruk, sehingga mungkin sekali masa depan manusia nanti akan sangat berbeda dari yang diproyeksikan Harari.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.