Bagaimana Menghadapi Ujaran Kebencian Lewat Internet?
1 September 2017Sebagai politisi Jerman dengan latar belakang migran, orangtuanya berasal dari Turki, Özgan Mutlu cepat menjadi sasaran kebencian kelompok-kelompok Neonazi maupun kelompok nasionalis Turki. Tidak hanya ujaran kebencian yang datang di akun media sosialnya, melainkan juga ancaman-ancaman konkrit.
"Saya selalu melaporkan hal-hal itu kepada polisi", kata Mutlu. Tapi hasilnya tidak banyak. Dalam lebih 40 kasus, polisi memberitahu bahwa penyidikan dihentikan dengan alasan, semua konten itu masih bagian dari kebebasan berpendapat. Hanya dalam beberapa kasus, polisi memanggil pembuat ujaran kebencian. Mereka lalu meminta maaf kepada Mutlu, dan kasusnya ditutup.
Anggota parlemen dari Partai Hijau yang lain, Renate Künast, mengalami hal yang sama. Tapi dia menanggapinya lain. Künast malah mencari tahu siapa pengirim ujaran kebencian. Dan jika mungkin, dia mendatangi pengirimnya untuk berdiskusi. Beberapa penyebar ujaran kebencian akhirnya berkenalan dengan Künast lalu meminta maaf dan Künast menganggap itu kejadian yang lucu.
Namun aksi Künast juga bukan solusi, sebab banyak sekali ujaran kebencian dan ancaman yang tersebar lewat media sosial. Tidak hanya mengarah pada politisi dari kubu politik tertentu, melainkan merata pada politisi dari semua kubu.
Karena itu, bulan Juli 2017 parlemen Jerman menetapkan UU baru terkait konten di internet dan di media sosial. UU itumewajibkan pengelola media sosial mengawasi konten-konten yang disebarkan melalui sarana mereka. Jika ada konten yang dinilai sudah melanggar hukum atau privasi seseorang, dan orang itu mengadukan kasusnya kepada pengelola, maka konten itu harus secepatnya dihapus. Jika pengelola tidak menghapus konten itu dalam batas waktu tertentu, bisa terkena sanksi denda sampai jutaan Euro. Tapi ada juga kritik terhadap UU baru itu.
"Kebebasan berpendapat tidak punya lobby yang kuat diJerman", kata Niko Härtling, pengacara internet dari Berlin. "Semua hanya fokus pada apa yang harus dilarang." Menurut Niko, hanya sebagian kecil pengguna media sosial yang menyebar ujaran kebencian.
Pengelola media sosial seperti Facebook juga bereaksi terhadap kecenderungan negatif yang menggejala lewat internet. Facebook misalnya punya unit khusus di Berlin yang bertugas menghapus konten-konten yang melanggar hukum.
Kebanyakan konten bermasalah memuat aksi-aksi kekerasan dan pornografi. Tapi banyak juga pengaduan yang masuk ke Facebook berkaitan dengan kritik yang tidak ingin didengar politisi atau tokoh-tokoh publik. Pengaturan ini yang dikritik pengacara Niko Härtling.
"Bagaimana kalau misalnya seseorang diblokir oleh Facebook hanya karena menyebarkan karikatur atau tulisan satire yang tidak disenangi oleh orang yang dikritik?" Korban pemblokiran hingga saat ini memang tidak punya tempat untuk mengadukan kasusnya.
Menurut Härting, pada akhirnya yang menentukan apa yang boleh dan tidak adalah pegawai perusahaan swasta. Härting mengusulkan, agar keputusan seperti itu sebaiknya tetap ada di pihak kejaksaan atau lembaga pengusut. Pihak berwenang harus membentuk unit penyidikan yang khusus bertugas mengawasi konten di media sosial.
Siapa yang harus bertanggung jawab untuk konten di media sosial yang melanggar hukum, memang masih jadi perdebatan. Özgan Mutlu mengatakan pengelola media sosial seperti Facebook tetap punya tanggung jawab.
"Facebook yang membuat algoritma, misalnya posting yang membuat gambar telanjang akan langsung terhapus. Jadi kalau Facebook mau, mereka juga bisa membuat algoritma untuk memblokir konten-konten yang jelas melanggar hukum,” kata Mutlu. Hingga kini, pengelola media sosial seperti Facebook mengklaim, pihaknya hanya penyedia sarana dan bukan pembuat konten. Sehingga tidak bisa bertanggung jawab misalnya atas isi sebuah posting.