Dengan sebab yang berbeda-beda, sejumlah orang berupaya menutupi etnisitasnya dari pandangan orang lain. Seseorang menyangkal "golongan” darah yang mengalir di tubuhnya lantaran rasa rendah diri dan malu dikaitkan dengan bangsa tertentu, sementara seseorang yang lain melakukannya demi alasan keamanan karena ancaman yang akan dihadapi jika etnisitasnya terkuak.
Salah satu dari para penyangkal itu bernama Adania Sihibli, seorang perempuan penulis Palestina. Saya mengetahuinya saat ia hadir pada Jakarta International Literary Festival (JILF) Agustus 2019.
Meski sudah lama berlalu, namun pidato kunci yang ia sampaikan pada malam pembukaan festival itu, terus membekas dalam ingatan saya. Ia begitu fasih dan menyentuh dalam menyampaikan persoalan identitas yang sedang merundung bangsanya.
"Belakangan ini, pengalaman orang Palestina berbahasa Arab di Israel/Palestina menjadi berkebalikan dengan pengalaman Shahrazad dalam Seribu Satu Malam. Di sana Shahrazad harus berbicara; jangan pernah diam agar terus hidup dan menunda kematian. Bicara menjadi jaminan untuk tidak dibunuh.”
Itu petikan pidato kuncinya. Perempuan Palestina yang menempuh pendidikannya di bidang Media dan Cultural Studies di Inggris itu, bertutur tentang kepahitan satu bangsa yang dipaksa untuk mengkhianati bahasanya sendiri.
Bahasa Arab yang pada mulanya mendapat tempat terhormat di Palestina, bahkan melebihi yang bisa diberikan Mesir pada masa kolonial Inggris, kini banyak penuturnya berbicara dengan pelan dan ragu-ragu. Sebagian lainnya bahkan memilih menyembunyikannya sama sekali.
Dan Adania menceritakan kegetiran itu melalui satu kejadian di sebuah kantor pos di Yerusalem pada akhir 2000. Saat itu ia semestinya bisa membantu seorang lelaki dengan anak gadisnya yang tengah menghadapi kendala bahasa dengan teller berbahasa Ibrani. Tetapi tidak.
"Lelaki itu terus berdiri dalam diam. Ia lalu bertanya kepada dua perempuan di depan saya apa maksud teller itu dan mereka menjawab bahwa mereka tidak bisa berbahasa Ibrani. Salah seorang dari perempuan itu berkata, ‘mungkin Ibu itu tahu', sambil menunjuk perempuan di belakang saya. Si Ibu menjawab bahwa ia hanya paham sedikit dan ia maju ke depan, dan dengan susah payah berupaya memahami apa maksud si teller.
Mereka tidak menengok saya, maka saya tidak membantu mereka. Saya bisa berbahasa Ibrani tetapi saya tidak membantu mereka. Saya bungkam; saya mendengar semua jerih payah mereka dan saya tetap bungkam. Saya menyangkal mereka.
Saya tidak sepenuhnya yakin bahwa teller itu rasis, tapi saya takut. Saya khawatir bungkusan saya tidak akan sampai tepat waktu ke alamat yang dituju, jika dia menyadari saya orang Palestina. Bungkusan itu tidak akan menerima layanan yang sama seperti yang diterima bungkusan-bungkusan non-Arab.
Berlindung di balik kebungkaman
Sekarang saya berlindung di balik kebungkaman saya. Saya tidak membuka mulut. Saya merasakan gigi saya di rahang yang saya katupkan kuat-kuat. Saya memberi pembenaran diri bahwa tak ada yang mencoba meminta tolong kepada saya.
Saya menyembunyikan ke-Arab-an-saya. Pada saat yang sama, saya tidak bisa memalingkan mata dari adegan itu. Saya mengikutinya, mengikuti upaya mereka, mengikuti kata-kata mereka yang dibisikkan dengan bimbang, mengikuti pengkhianatan saya....”
Terungkap dalam pidato Adania Shibli bahwa fenomena orang Palestina yang berlindung dalam kebungkaman (silencing) ketika ada penutur Ibrani di sekitarnya, bukanlah sesuatu yang asing.
Hampir setiap orang yang lahir sesudah terbentuknya Israel pada 1948, pernah mengalami setidaknya sekali dalam hidup mereka. Sekian dasawarsa pendudukan militer Israel telah menjadikan berbicara bahasa Arab sebuah pengalaman yang berbahaya.
Berbahasa Arab bukan semata-mata merupakan aksi komunikasi belaka di mana orang bisa mengharapkan jawaban, misalnya. Ia telah menjadi penguak identitas: begitu seorang Palestina berbahasa Arab di dekat-dekat orang Israel, itu berarti ia telah membiarkan identitasnya terbongkar, dan kemudian mereka harus waspada akan menjadi sasaran diskriminasi, atau serangan verbal, dan bahkan fisik.
Dan itu sungguh sebuah pengalaman yang berkebalikan secara diametrikal dengan Shahrazad dalam Seribu Satu Malam. Pemikir Edward Said dalam esainya "From Sillence to Sound and Back Again” (1997) menulis bahwa keberlanjutan suara manusia berfungsi sebagai kepastian akan kelangsungan hidup manusia, sementara kebungkaman diasosiasikan dengan kematian.
Menghasilkan generasi baru
Lebih jauh, Adania mengulik pengalaman Shahrazad bahwa ia bisa menunda kematian bukan hanya dengan menuturkan dongeng-dongeng yang ajaib, tetapi juga dengan secara fisik menghasilkan sebuah generasi baru. Ini ia lakukan sepanjang rangkaian narasinya yang amat panjang itu: kita tahu dari bab penutup bahwa ia mempunya tiga putra dari Shariar dan mereka hidup berbahagia selama-lamanya.
Sementara kebungkaman, alih-alih bicara, menyelusup ke dalam kehidupan orang-orang Palestina sebagai salah satu perangkat yang tersedia untuk menjamin keselamatan diri mereka.
Sejarah kebungkaman ini, sebagaimana dikatakan sejarawan Rana Barakat dalam esainya "To Un-Mute Silence” (2018), memiliki akar yang panjang dan bervariasi. Di era kolonial, konotasi verbal kebungkaman bisa ditelusuri balik ke penyangkalan atas bangsa seperti didapati dalam teks mandat (Inggris) yang diberlakukan pada Palestina pasca Perang Dunia I. Teks itu menandai orang Palestina sebagai "non- Yahudi”.
Sejak penghapusan nama bangsa Palestina itu, kecenderungan kebungkaman di kalangan rakyat Palestina telah menjadi kisah dominan selama lebih dari seabad. Kebijakan kolonialisme bukan hanya menghasilkan rasa jijik terhadap bangsa yang terjajah—sejarah dan kebudayaan mereka—tetapi juga terhadap bahasa mereka.
Penulis: Ben Sohib, sastrawan, penerima program Residensi Penulis Kemendikbud di Belanda.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis