Apakah Drone Buatan Turki Berguna dalam Pertempuran Ukraina?
7 Maret 2022Beberapa video ucapan selamat beredar di media sosial Ukraina dan Turki dalam beberapa hari terakhir, yang memamerkan drone Bayraktar TB2 buatan Turki. Militer Ukraina telah berhasil menggunakan drone melawan militer Rusia beberapa kali, menurut klaim video dengan teks bahasa Inggris dan Turki, dengan menyertakan gambar kendaraan dan peralatan Rusia yang meledak atau hancur.
Namun, seberapa sukses drone Bayraktar, yang sering dikenal hanya sebagai TB2, selama invasi Rusia ke Ukraina? Hingga kini belum ada verifikasi secara independen.
Ukraina memiliki drone TB2 sejak 2019 dan telah membeli sekitar 50 unit sejak tiga tahun terakhir. Rabu (02/03) lalu, Kementerian Pertahanan Ukraina menyatakan sejumlah drone TB2 telah dibeli dan siap untuk memasuki pertempuran. Pada hari Kamis (03/03), Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan negaranya telah merasakan banyak manfaat dari drone buatan Turki tersebut.
Pembelian drone buatan Turki jadi populer
Seperti biasa dalam hal pengiriman senjata, Turki belum berkomentar tentang masalah ini. Masyarakat dunia, hanya mengetahui keberadaan drone ini dari pemberitaan media, jika digunakan dalam perang atau jika negara penerima membicarakannya.
Bayraktar TB2 dikembangkan dan diproduksi oleh perusahaan Turki, Baykar Technology. Bisnis milik dua bersaudara ini pertama kali didirikan pada tahun 1986. Sejak saat itu, perusahaan berkembang menjadi raksasa manufaktur senjata Turki. Menantu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Selcuk Bayraktar, adalah Kepala Teknologi perusahaan tersebut.
Menurut keterangan dari perusahaan, ekspornya tumbuh tujuh kali lipat antara tahun 2006 dan 2021. Pemberitaan media mengatakan TB2 menerima pesanan dari 16 negara, termasuk Ukraina, Azerbaijan, Maroko, Tunisia, Qatar, Kirgistan, dan Turkmenistan. Polandia adalah anggota NATO pertama yang membeli drone itu pada tahun 2021 sebanyak 24 unit untuk ditambahkan ke gudang senjatanya.
TB2 sudah terbang lebih dari 420.000 jam di tempat-tempat seperti Suriah, Libya, dan Irak. Banyak analis percaya pesawat tak berawak itu adalah senjata yang menentukan selama konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan pada tahun 2020.
TB2 juga baru-baru ini digunakan di Etiopia. Menurut penyelidik, serangan drone menewaskan sedikitnya 59 warga sipil di Tigray.
Bayraktar TB2 memiliki panjang 6,5 meter, lebar sayap 12 meter, dapat bertahan di udara hingga 24 jam, dan melakukan perjalanan dengan kecepatan maksimum 220 kilometer per jam. Selain itu, TB2 lebih murah dibanding drone serupa lainnya.
Bisakah TB2 membantu perang Ukraina?
Tidak jelas berapa banyak drone yang sebenarnya dimiliki Ukraina. Namun, jika Ukraina memiliki semua drone yang diminta, dapatkah kemampuan ini mengubah hasil perang negara itu dengan Rusia?
Wolfgang Richter, pensiunan kolonel tentara Jerman dan pakar militer di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP), tidak berpendapat demikian.
Drone hanya bisa menyerang satu target pada satu waktu, katanya. "Itu berarti bisa menghancurkan tank atau artileri," katanya kepada DW. Jika militer Ukraina memiliki semua drone yang dipesannya, itu dapat menimbulkan kerugian di pihak Rusia, tetapi dibandingkan dengan pertempuran darat, dampak perang drone akan terbatas, kata Richter.
Richter menunjukkan ada sekitar 600 kendaraan tempur mendekati ibu kota Ukraina, Kiev, dan Rusia menyerang Ukraina dari empat arah yang berbeda. Selain itu, tidak ada yang tahu apakah drone tempur Ukraina masih beroperasi atau sudah dihancurkan.
Apa posisi Turki dalam konflik tersebut?
Presiden Turki Erdogan telah mempertahankan hubungan baik dengan Rusia dan Ukraina selama bertahun-tahun. Turki telah memasok drone tempur ke Ukraina, tetapi membeli rudal sistem S-400 dari Rusia.
Akan menjadi lebih sulit untuk mempertahankan kondisi tersebut di masa depan, kata Daria Isachenko, pakar kebijakan keamanan dan pertahanan di Pusat Studi Turki Terapan di SWP. Dia percaya Erdogan tidak dapat memilih antara Rusia atau Ukraina, karena ini akan memiliki konsekuensi keamanan dan ekonomi yang serius.
Rusia tidak dapat menggantikan apa yang ditawarkan aliansi Barat kepada Turki, tetapi Barat juga tidak dapat menggantikan Rusia dalam perhitungan Turki, katanya. Jadi, dia percaya, Erdogan hanya akan melakukan apa yang diperlukan.
Meskipun Turki telah menerapkan Konvensi Montreux dan memblokir perjalanan kapal perang Rusia dari wilayah angkatan laut yang dikontrolnya, Isachenko tidak berpikir Turki akan bergabung dengan rezim sanksi Barat terhadap Rusia.
"Karena itu bisa dengan cepat mendapatkan respon dari Moskow," katanya kepada DW. "Dan ini akan memukul ekonomi Turki dengan keras, terutama di bidang-bidang seperti pariwisata, konstruksi, dan impor gandum." Turki mengimpor sekitar 70% gandumnya dari Rusia.
(bh/ha)