Bila Anakku Seorang LGBT
27 Februari 2018Dering grup Whatsapp ibu tidak berhenti, mengabarkan soal bahaya eljibiti yang merekrut anak-anak. Belum habis berita soal pedofilia, child molester dan perkosaan kepada anak kini orangtua Indonesia dibuat was-was dengan ‘virus' LGBT.
Namun hal yang sering salah kaprah soal LGBT dan pedofilia adalah mengaburkan keduanya demi kepentingan politik. LGBT adalah akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Tiga huruf pertama L, G dan B adalah orientasi seksual sedangkan yang terakhir, Transgender adalah ekspresi gender. Sedangkan pedofilia adalah hasrat menyukai anak usia di bawah 14 tahun. Pedofilia juga sering dikaitkan dengan Child Molester yang melakukan pelecehan/perkosaan kepada anak-anak karena anak sering dilihat sebagai kelompok rentan dan tidak berdaya (bukan selalu karena menghasrati anak kecil).
Salah paham yang menyebar
Terdapat perbedaan yang jauh antara istilah-istilah tersebut kan? Sayangnya yang terjadi di masyarakat istilah ini menyebar tanpa dipahami, khususnya dalam WA blast yang sering sekali singgah di layar smartphone para orangtua sekalian.
Sebagai orangtua dengan rentetan informasi yang masuk setap harinya, kita harus cerdas dengan membiasakan membaca. Takut dan khawatir terhadap berbagai fenomena tersebut wajar karena orangtua selalu ingin yang terbaik bagi anaknya. Tetapi satu-satunya cara menepis kekhawatiran dan ketakutan adalah mencari tahu. Bagaimana agar anak-anaknya tidak tertular virus "LGBT” harus diselesaikan dengan mengetahui bagaimana kehidupan LGBTIQ sebenarnya? apakah minoritas seksual identik dengan pesta seks seperti yang diberitakan media dan diwaspadai oleh para pejabat negara?
Bagaimana jika terlanjur mengetahui bahwa anak Anda memiliki orientasi berbeda dangan masyarakat pada umumnya? Pertama yang bisa dilakukan adalah mendengarkan dan memahami, bukan menghardik dan merasa bersalah telah melahirkan dan membesarkannya. Karena minoritas seksual, seperti manusia pada umumnya, apabila diberikan kasih sayang dan peluang untuk mengembangkan diri, maka dia akan berprestasi. Berikut adalah daftar minoritas seksual di Indonesia yang berprestasi dan berguna bagi masyarakat yang jasanya masih kita kenal hingga hari ini.
Baca juga:Timor Leste Bergerak Lindungi Hak LGBTQ
"Putih” waria penyelamat Jendral Sudirman
Siapa yang tak kenal Jenderal Sudirman? pahlawan nasional ini namanya masyhur memimpin geriliya ketika masa Revolusi (1945 – 1949) melawan Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia melalui proklamasi. Pada salah satu pertempura geriliyanya, pasukan Jendral Sudirman dibantu oleh seorang waria untuk menunjukan jalan. Dilansir dari majalah Historia online (http://historia.id/persona/si-putih-waria-penunjuk-jalan-jenderal-soedirman), tepatnya pada 24 Januari 1949 malam, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memutuskan jalan dari Desa Jambu menuju Warungbung. Ketika rombongan bergerak mendekati markas Belanda di Kasugihan, yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. dan setelah sampai di Desa Gunungtukul pada 25 Januari 1949, deru kendaraan militer Belanda begitu dekat dan akibatnya sulit menemukan penduduk yang bersedia menunjukan jalan memotong Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949.
Kemudian muncul seorang yang disebut oleh Tjokropranolo sebagai "si Putih” mengajukan dirinya menjadi pengantar. Si Putih adalah sebutan yang diberikan Tjokropranolo bagi Waria ini dalam memoarnya Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia. Prilaku Putih yang kemayu dan lincah menuntun keselamatan bagi pasukan Jendral Soedirman. Putih mengantar dengan selamat dan Tjokropranolo tidak pernah mempermasalahkan keadaan diri Putih sebagai seorang waria feminim bersama-sama serombongan pasukan tentara.
Baca juga:
Kriminalisasi LGBT Menguat di Tahun Politik
Tentang Waria, HIV/AIDS, dan ODHA
Menteri Indonesia yang "Gay”
Dalam publikasi riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada tanggal 24 Januari 2018 lalu, salah satu indikator pertanyaannya apakah masyarakat Indonesia menerima apabila LGBT menjadi tetangga dan pejabat publik dan di atas 80% menyatakan keberatan apabila pejabat publik diisi LGBT. Tentunya ini setelah gunjang-ganjing ramai pemberitaan negatif tentang LGBT. Pernah ada masa ketika orang Indonesia tidak panik terhadap LGBT karena memiliki seorang menteri yang gay. Pernyataan tersebut diucapkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam sebuah wawancaranya pada media, ""Jika Anda ingat di Indonesia, dulu ada menteri (LGBT), dan masih menjadi menteri (saat itu). Bahkan masyarakat sudah mengetahuinya dan tak masalah," kata JK dalam acara Indonesia Summit 2016 di Hotel Shangrila, Jakarta tahun lalu. ”
Yusuf Kalla tidak menyebutkan nama menteri tersebut tapi masyarakat berspekulasi menteri tersebut adalah Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Menparpostel) Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan VI pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1993-1998) bernama Joop Ave. Ia diangkat karena kedekatannya dengan Ibu Tien Soeharto. Sebelum menjadi menteri ia pernah menjadi Direktur Jenderal Pariwisata pada tahun 1982 dan menjabat sebagai pengatur protokol Istana. Walau tidak pernah menyatakan terang-teranganya tentang identitas seksualnya dan seumur hidup tidak pernah menikah, menteri ini menyelesaikan tugas selama hidupnya dengan baik. Karena seorang meteri diukur dari kinerjanya, bukan dari orientasi seksualnya.
Widodo Budidarmo, Gay pembela Hak Asasi Manusia
"Sebelum coming out, kamu harus coming in” ucap sahabat saya, Firmansyah seorang gay ketika memberikan pemahaman tentang bagaimana ia bisa berprestasi sebagai mahasiswa dengan IPK tertinggi dan menjadi salah satu lulusan terbaik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di tahun 2015. Penerimaan terhadap diri sendiri penting untuk dapat membuka diri dan menolong orang lain. Barangkali itu juga yang menjadi prinsip dari Widodo Budidarmo, aktivis pembela hak asasi manusia yang wafat pada akhir tahun 2017 lalu.
"Mak E'” begitu ia lebih sering di panggil oleh rekan-rekannya. Dia sangat terbuka soal ekspresi dirinya yang feminim namun tetap tegas dalam membela Hak Asasi Manusia dari segala kelompok dan golongan, aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Dodo panggilan akrabnya yang lain membantu konsumsi dan memasak untuk ibu-ibu Kendeng yang waktu itu sedang berjuang di Jakarta untuk menuntut keadilan atas kampung halamannya. Tidak hanya membantu masyarakat miskin untuk mendapatkan hak atas tanahnya, Dodo juga membantu LBH sebagai lembaga non-profit menggalang dana demi membantu masyarakat secara lebih luas dan tentu saja, secara cuma-cuma.
Baca juga: LGBT Mulia di Sisi Allah?
Menjadi ortu yang bijak
"Kasih ibu kepada Beta tak terhingga sepanjang masa.” Apakah seorang ibu akan tetap menerima apabila anak yang dikandung dan dibesarkan memiliki orientasi seksual berbeda dengan mayoritas?
Ibu yang memiliki cinta sejati akan menerima anak apa adanya apapun keadaannya. Kasih orangtua adalah yang utama agar anak bisa berkembang menjadi apapun ia ditakdirkan. Pemberitaan negatif tentang LGBT sering kali adalah mainan politik elite dan media agar dapat keuntungan, tidak benar-benar menyampaikan bagaimana kehidupan LGBT yang sebenarnya yang biasa saja dengan kita-- seseorang yang memiliki anak, saudara, paman, adik, kakak atau tetangga yang punya orientasi seksual minoritas lebih terbuka dan menerima.
Mengapa? karena mereka memiliki pengalaman langsung berinteraksi dan membuktikan bahwa kelompok minoritas seksual tidaklah seperti yang dipolitisir politisi. Karena menjadi baik tidak bergantung pada kelamin, agama ataupun orientasi seksual.
Penulis: Nadya Karima Melati (ap/vlz)
Essais dan pengamat masalah sosial.
@Nadyazura
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis