Meningkatnya Serangan Sayap Kanan di Sekolah-sekolah Jerman
16 Mei 2023Sambil mengibarkan bendera warna-warni dan membawa papan tulisan tangan, sekitar 150 murid, guru dan orang tua murid berbaris di luar kantor dinas pendidikan di Cottbus, Selasa (09/05) pekan lalu.
"Rasisme, seksisme dan homofobia di sekolah-sekolah memengaruhi kita semua," teriak seorang guru, Max Teske, kepada para pengunjuk rasa. "Ini adalah ancaman bagi seluruh masyarakat."
Teske dan koleganya Laura Nickel menjadi berita utama di seluruh Jerman pada akhir April lalu ketika mereka menerbitkan sebuah surat yang merinci keprihatinan mereka atas kekerasan bermotif rasial di sekolah dasar dan sekolah menengah mereka di dekat Cottbus.
Dalam surat tersebut, mereka menggambarkan bahwa mereka mendengar musik ekstremis sayap kanan yang diputar selama pelajaran berlangsung, coretan swastika di mebel dan pelecehan verbal di koridor sekolah.
"Beberapa siswa yang berpenampilan asing atau yang lebih toleran di sekolah kami mengalami pengucilan, intimidasi dan ancaman kekerasan," tulis para guru. Itulah sebabnya mereka tidak lagi ingin "tutup mulut". Sebaliknya, mereka menuntut penambahan tenaga sosial, peningkatan pelatihan untuk guru, dan lebih banyak inisiatif untuk mempromosikan demokrasi di sekolah.
Lebih dari 500 korban sayap kanan alami cedera fisik
"Sayangnya, ini bukan satu atau dua kasus, melainkan sudah memuncak," kata Heike Kleffner kepada DW. Ia memimpin Asosiasi Pusat Konseling untuk Korban Kekerasan Sayap Kanan, Rasisme, dan Antisemitisme di Jerman, VBRG.
"Jumlah anak-anak dan remaja yang menjadi korban serangan antisemit dan rasisme meningkat dua kali lipat pada tahun 2022. Pusat-pusat dukungan korban telah mendengar dari lebih dari 520 anak dan remaja yang mengalami cedera fisik," katanya.
Secara keseluruhan, pusat-pusat dukungan korban menghitung 2.871 orang yang terkena dampak dari sekitar 2.100 serangan sayap kanan, rasisme, dan antisemit. Angka ini naik sekitar 700 kasus lebih banyak dari tahun sebelumnya. Peningkatan tindakan kekerasan bermotif politik juga tercermin dalam statistik kepolisian saat ini. Mereka tidak hanya mencatat serangan fisik tetapi juga pelecehan verbal.
Ini "hanya sebagian kecil dari kenyataan yang benar-benar dramatis," kata Kleffner. Jumlah serangan yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. "Kami mengetahui terlalu banyak kasus di mana para korban mengatakan bahwa mereka takut untuk mengungkapkannya ke publik karena para pelaku tinggal di lingkungan mereka. Mereka juga takut untuk mengungkapkannya ke publik karena mereka mungkin akan disalahkan," katanya.
Serangan semacam ini sering kali memiliki konsekuensi yang luas bagi para korban, kata Kleffner. Dia memberikan contoh seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang dihina secara rasial, didorong dan ditendang oleh seorang pria berusia 71 tahun di sebuah kolam renang di negara bagian Thüringen, tengah Jerman, pada Februari 2022. Karena serangan ini, anak tersebut terus merasa sangat tidak aman, sangat ketakutan dan masih menjalani terapi.
Ancaman di sebuah kamp liburan
Di sebuah tempat rekreasi di tepi danau di Heidesee dekat Berlin pada awal Mei, polisi turun tangan untuk mencegah penghinaan dan ancaman meningkat menjadi tindak penyerangan. Satu kelas sekolah dari Berlin, yang sebagian besar terdiri dari para siswa dengan latar belakang imigran, berada di sana untuk belajar matematika di sebuah perkemahan liburan akhir pekan.
Namun selama acara berlangsung, beberapa pemuda setempat dilaporkan melontarkan pelecehan rasis kepada para siswa kelas 10 dan mengancam akan melakukan kekerasan terhadap mereka. Para siswa dan guru lalu meninggakan perkemahan liburan tersebut di bawah perlindungan polisi pada tengah malam.
"Fakta bahwa sekolah ini memiliki keberanian untuk mengungkapkan pengalaman mereka tentang ancaman sayap kanan, dengan kekerasan dan rasisme sayap kanan - itu adalah sinyal yang sangat penting," kata Kleffner. "Itulah satu-satunya cara agar segala sesuatunya benar-benar berubah."
Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser dalam sebuah presentasi statistik terbaru tentang kekerasan bermotif politik di Jerma menyebut insiden di kamp liburan itu "mengerikan.". Faeser menyerukan penyelidikan menyeluruh, dengan tujuan untuk mencegah kejadian semacam itu di masa depan.
Mendengarkan perspektif korban
Laporan-laporan tentang kekerasan ekstrem kanan ini mengingatkan sejumlah pengamat pada periode tahun 1990-an, ketika gelombang serangan bermotif rasial menyebarkan ketakutan dan kengerian di seluruh Jerman. Kini, seperti halnya dulu, risiko menjadi korban serangan semacam itu secara statistik lebih tinggi di negara-negara bagian bekas Jerman Timur.
Namun, Kleffner melihat adanya perbedaan utama antara saat ini dan dulu. "Sepuluh, 20 atau 30 tahun yang lalu fokusnya adalah pada para pelaku, bukan pada pengalaman orang-orang yang diserang, yang terluka," katanya. Cara pelaporan insiden-insiden ini telah berubah. "Dan itu juga sangat dibutuhkan," tambahnya, "karena terlalu sering para korban mengalami bahwa perspektif mereka, pengalaman mereka tidak dipercaya atau diragukan."
Sering kali, katanya, pusat-pusat dukungan korban adalah satu-satunya yang mempercayai kisah-kisah mereka yang menjadi korban kekerasan sayap kanan. (ap/hp)
*Artikel asli ditulis dalam bahasa Jerman.