Ancaman Penyakit TBC Terus Meningkat
31 Maret 2009Jumlah penderita penyakit Tuberkolosa atau TBC di seluruh dunia terus meningkat. Setiap tahunnya sekitar 9 juta orang menjadi penderita baru yang terinfeksi penyakit paru-paru akut tsb. Rata-rata 1,7 juta orang meninggal akibat TBC setiap tahunnya. Sebuah ironi dalam perang melawan TBC yang dicanangkan sejak setengah abad lalu oleh organisasi kesehatan dunia-WHO. Sebetulnya penyakit TBC secara medis dapat disembuhkan.
Namun dalam dekade terakhir ini, justru terjadi peningkatan jumlah penderita baru. Dua negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, Cina dan India juga menjadi negara dengan pengidap TBC terbanyak di dunia. Disusul Indonesia sebagai juara ketiga dalam jumlah kasus pengidap TBC. Selain itu negara-negara di Afrika yang tergolong paling miskin sedunia, terancam eksistensinya akibat penyebaran penyakit TBC. Masalah lain yang juga semakin pelik, adalah kaitan TBC dengan penyakit HIV/AIDS serta munculnya varian TBC yang kebal antibiotika.
Di negara-negara barat penyakit TBC dalam beberapa dekade terakhir tidak lagi menjadi masalah besar. Padahal di seluruh dunia prevalensi penyakit paru-paru ini terus melonjak. Banyak penderita infeksi Tuberkolosa tidak menyadari, bahwa mereka tertular bibit penyakit tsb. Penyebanya diungkapkan oleh Bonita Brodhun dari Institut Robert Koch di Berlin : “Menurut organisasi kesehatan dunia sekitar sepertiga populasi manusia di seluruh dunia terinfeksi Mykobakterium Tuberkolosis. Akan tetapi hanya lima sampai 10 persennya yang juga menderita sakit dalam perjalanan hidupnya.“
Di Jerman, penyakit TBC terutama menyebar di kalangan warga migran, yang sebelumnya sudah terinfeksi di negara asalnya. Penyakit paru-paru akut itu juga banyak menulari orang tua yang sistem kekebalan tubuhnya sudah semakin lemah. Tubuh yang sehat, biasanya mampu menahan infeksi bakteri TBC. Tapi jika tubuh menjadi ringkih dan lemah, penyakitnya bisa menyerang secara tiba-tiba.
Karena itulah mengapa TBC disebut penyakit khas orang miskin. Hal ini dibenarkan oleh Elena Skatschkowa pimpinan pusat epidemiologi untuk pengamatan TBC di ibukota Rusia Moskow : “Sejarah negara kami menunjukkan, pada tahun 90-an ketika mengalami krisis ekonomi, jumlah penderita penyakit TBC dan yang meninggal karenanya, meningkat drastis. Sekarang, bersamaan dengan krisis ekonomi global dan meningkatnya pengangguran, kami memperhitungkan kasusnya akan kembali meningkat.“
Runtuhnya komunisme di awal tahun 90-an, memicu penyebaran penyakit TBC dengan cepat di negara-negara bekas Uni Sovyet di kawasan Eropa Timur dan Asia Tengah. Dalam waktu bersamaan, para pengamat kesehatan juga mencatat peningkatan drastis kasus infeksi baru TBC di Afrika. Di benua ini, pemicunya terutama penyebaran penyakit menurunnya kekebalan tubuh HIV-AIDS. Menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV, memicu meluasnya wabah TBC. Berdasarkan statistik kependudukan, dewasa ini warga di negara-negara benua Afrika yang persentasenya paling banyak terinfeksi TBC. Cina dan India juga menunjukkan tendessi peningkatan jumlah kasus infeksi TBC.
Padahal penyakit paru-paru akut itu, secara ilmu kedokteran sudah dapat disembuhkan dengan mudah. Christian Gunneberg dari organisasi kesehatan dunia –WHO menjelaskan; “Terdapat obat-obatan yang sebetulnya tidak mahal. Kita dapat dengan mudah menyiapkan obatnya. Yayasan dana global untuk pemberantasan AIDS, malaria dan TBC memiliki sarananya, pemerintah juga menyiapkan uang untuk pemberantasan TBC. Tapi masalahnya adalah lemahnya infrastruktur. Kami menghadapi batasan dimana sistem kesehatan tidak dapat menanggulanginya, khususnya di Afrika.“
Para ilmuwan kini juga mencemaskan semakin banyaknya jenis bakteri Tuberkolosis yang kebal antibiotika. Bahkan kebal terhadap beberapa jenis antibiotika yang dalam istilah kedokteran disebut mengembangkan multi-resistensi antibiotika. Kasusnya meningkat drastis di negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah setelah bubarnya Uni Sovyet. Penyebabnya adalah pemberian antibiotika secara tidak rasional. Biasanya untuk pengobatan TBC digunakan empat jenis antibiotika secara bersamaan. Akan tetapi jika hanya satu jenis saja yang diberikan, dengan cepat bakterinya dapat mengembangkan kekebalan terhadap antibiotika yang lazim digunakan mengobati TBC.
Christian Gunneberg dari WHO menjelaskan lebih lanjut : “Jika jenis bakteri ini dapat terus berkembang biak, dengan cepat dapat terbentuk resistensi terhadap antibiotika kedua. Selanjutnya resistensi terhadap antibiotika ketiga. Hanya jika kita dari awal memberikan seluruh empat antibiotika, dapat dihindarkan terbentuknya resistensi ini.“
Dewasa ini, terutama di Afrika berkembang biak jenis bakteri yang kebal terhadap beberapa jenis antibiotika. Bahkan dalam kasus ekstrim, muncul bakteri TBC yang kebal seluruh empat antibiotika yang biasa digunakan mengobati penyakit paru-paru tsb. Karena itu direktur jenderal WHO, Margaret Chan sudah melontarkan peringatan :
“Jenis TBC semacam ini praktis tidak dapat disembuhkan. Dan dalam 100 persen kasus menyebabkan kematian. Jika bakteri semacam ini terus menyebar secara global, penyakit ini ibaratnya melontarkan kita ke zaman sebelum penemuan antibiotika.“
Situasi pesimistis yang digambarkan direktur jenderal WHO itu adalah kenyataan yang harus dihadapi.
Sasaran pembangunan millennium yang mencanangkan pengurangan prevalensi TBC menjadi separuhnya hingga tahun 2015, dipastikan tidak akan tercapai. Selain itu semakin meningkatnya kasus infeksi HIV/AIDS di kawasan Afrika di sebelah selatan Sahara, semakin mempersulit program eradikasi penyakit TBC. Dari sekitar 9 juta penderita baru TBC yang terdata WHO pada tahun lalu, sekitar 1,4 juta kasus terkait dengan penyakit HIV/AIDS. Sekitar 80 persen kasus TBC yang terkait HIV/AIDS terjadi di kawasan Afrika sebelah selatan Sahara. Sekitar 11 persen terjadi di kawasan Asia Selatan.
Juga kasus yang tidak dilaporkan, berkaitan dengan prevalensi TBC yang berkorelasi dengan infeksi HIV/AIDS amat tinggi. WHO memperkirakan, kasus kematian penderita TBC di kalangan pengidap HIV/AIDS selama dua atau tiga tahun terakhir ini melonjak dua kali lipat.
Sementara penyebaran penyakit TBC yang berkorelasi dengan HIV/AIDS juga terus meluas. Jika pada tahun 2007 kasusnya hanya menyebar di 15 negara, tahun 2008 lalu WHO sudah mendata kasusnya di 64 negara. Sementara kasus multi-resistensi bibit penyakit TBC tercatat di 27 negara, 15 diantaranya adalah negara di Eropa. Juga yang memprihatinkan, dari perkiraan sekitar 500.000 penderita TBC multi-resistensi terhadap antibiotika, hanya sekitar 30.000 pasien yang terdata secara akurat oleh WHO, kebanyakan kasus yang muncul di negara-negara Eropa dan di Afrika Selatan. Kini, untuk memerangi penyakit TBC yang sudah dilaporkan kasusnya sejak zaman Firaun sekitar 3000 tahun lalu, diperlukan tambahan dana, kesungguhan pemerintah dan tentu saja penyuluhan terus menerus menyangkut bahaya penggunaan antibiotika tidak rasional serta korelasinya dengan penyakit HIV/AIDS.