1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

'Ancaman' di Balik Status Negara Maju bagi Indonesia

24 Februari 2020

Indonesia dinyatakan jadi negara maju oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Pengamat ekonomi menilai Indonesia bisa kehilangan fasilitas keringanan bea masuk impor dan mengganggu jalannya ekspor Indonesia.

https://p.dw.com/p/3YGli
Presiden Jokowi G20 (President Secretary/Laily Rachev)
Presiden Jokowi berbincang dengan Presiden AS Donald trump di sela-sela agenda G20, di Osaka, Jepang (29 September 2019)Foto:  President Secretary/Laily Rachev

Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang dan dinyatakan sebagai negara maju dalam perdagangan internasional. Selain Indonesia, ada Cina, Brasil, India, dan Afrika Selatan yang 'naik level' jadi negara maju.

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Internasional (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan hal ini bisa membuat Indonesia kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau keringanan bea masuk impor barang ke Amerika Serikat (AS).

"Kalau berdasarkan aturan seharusnya negara maju nggak bisa dapat GSP," katanya kepada detikcom, Minggu (23/02).

Dia menjelaskan fasilitas GSP hanya diberikan untuk negara-negara kurang berkembang (LDCs) dan negara berkembang.

Terlepas dari dicoretnya Indonesia dari negara berkembang, saat ini AS sedang mereview fasilitas GSP untuk Indonesia. Harapannya negara tersebut akan kembali memberikan keringanan bea masuk impor tersebut.

GSP adalah sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Sementara itu Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani menilai keputusan AS itu ujung-ujungnya akan membuat ekspor dari Indonesia ke terganggu.

"Bisa, bisa berdampak ya (ke penurunan ekspor). Kalau dilihat kan ekspor kita juga dengan AS selama ini kan cukup besar kita surplusnya. Ya mungkin ini (mencoret Indonesia dari negara berkembang) juga salah satu cara AS untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dengan Indonesia," kata dia kepada detikcom, Minggu (23/02).

Namun Rosan belum bisa memperkirakan sebesar signifikan pengaruh hal tersebut terhadap kinerja ekspor Indonesia.

AS beri sinyal perang dagang ke RI?

Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memperkirakan Amerika Serikat (AS) sedang memberi sinyal ancaman perang dagang kepada Indonesia. Pasalnya negeri Paman Sam itu mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang.

Bhima menjelaskan, sebelumnya AS tidak pernah mengotak-atik fasilitas tersebut kepada Indonesia. Tentu saja sikap negara tersebut saat ini merupakan ancaman buat Indonesia.

"Karena sebelumnya kan tidak pernah banyak diotak-atik gitu. Baru zaman (Presiden AS) Donald Trump saja semuanya diperlakukan menjadi musuh gitu sehingga ini sebenarnya ancaman perang dagang untuk Indonesia secara langsung," kata Bhima saat dihubungi detikcom, Minggu (23/02).

AS kelihatannya ingin membatasi ekspor dari Indonesia karena sejauh ini negara tersebut defisit perdagangan dengan Indonesia, termasuk dengan empat negara lainnya yang dicoret AS dari negara berkembang.

"Jadi Indonesia ini perdagangannya 2019 masih surplus cukup besar terhadap Amerika Serikat. Jadi ini kan sebenarnya salah satu strategi saja untuk mengeluarkan Indonesia, pertama dari negara yang menerima GSP," ujarnya.

Ancaman defisit neraca perdagangan 

Setidaknya selama ini, kata Bhima ada ribuan jenis barang dari Indonesia yang mendapatkan keringanan bea masuk ke AS.

Ketika keringanan bea masuk impor barang dari Indonesia ke AS dicabut maka produk Indonesia akan menjadi lebih mahal. Hal itu akan menurunkan daya saing produk Indonesia dibandingkan negara lain di pasar AS.

"Nah itu akan mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar Amerika. Dengan kondisi yang sekarang ya otomatis kinerja ekspor kita akan turun cukup dalam untuk pasar Amerika Serikat," jelasnya.

Belum adanya pencabutan GSP saja, lanjut Bhima, ekspor Indonesia ke AS tumbuhnya hanya 0,8% per tahun 2019. Kemungkinan besar, jika fasilitas tersebut dicabut membuat pertumbuhan ekspor ke AS menjadi negatif.

Ekspor Indonesia ke AS selama ini bisa dibilang cukup signifikan, menurut Bhima porsinya adalah 10% sampai 12%, sementara ke Cina sekitar 15%, dari total keseluruhan ekspor. Otomatis menurunnya ekspor ke AS akan membuat defisit neraca perdagangan Indonesia semakin dalam. (Ed: rap/gtp)

 

Baca selengkapnya di: DetikNews

RI 'Naik Level' Jadi Negara Maju, Beneran Nih?

Ada 'Ancaman' di Balik Status RI Berganti Jadi Negara Maju