Ambisi Yordania Mendorong Kesetaraan Gender
8 Februari 2022Seruan pemberdayaan perempuan datang langsung dari jantung kekuasaan Yordania. Di akun Instagram, Ratu Rania Al-Abdullah mendeskipsikan dirinya sebagai "seorang ibu dan seorang istri dengan pekerjaan sehari-hari yang sangat keren" dan memberi judul postingnya: "Pemberdayaan"
Akhir Januari lalu, amandemen konstitusi akhirnya disetujui oleh Majelis Perwakilan. Pasal 6 sekarang menyatakan bahwa "pria dan wanita Yordania harus sama di depan hukum. Tidak ada diskriminasi di antara mereka sehubungan dengan hak dan kewajiban mereka atas dasar ras, bahasa atau agama". Artikel konstitusi sebelumnya hanya menyebut "warga Yordania" tanpa spesifikasi lebih lanjut.
Amandemen itu sejalan dengan target resmi pemerintah untuk mencapai kesetaraan gender pada tahun 2030.
Perdebatan sengit
Perubahan itu bukan tanpa kontroversi. Bulan Desember lalu bahkan sempat terjadi kericuhan dan adu jotos di parlemen. Anggota parlemen Raed al-Smirat menyebut seluruh diskusi itu sebagai "aib", Ketua Parlemen Abdalkarim al-Dugmi lalu mengeluarkan dia dari debat. Alhasil, terjadi saling pukul yang viral di media sosial.
Pada akhirnya, amandemen konstitusi diterima dengan 94 suara setuju dan 26 suara tidak setuju dari dari seluruhnya 130 anggota parlemen.
"Itu adalah momen bersejarah yang tidak akan saya lupakan," kata Wafa Bani Mustafa, Menteri Negara Urusan Hukum Yordania, kepada DW. "Ini adalah pertama kali sejak berdirinya negara ini, bahwa perempuan ditempatkan dalam dokumen tertinggi di negara dan dalam judul bab tentang hak dan kewajiban."
Namun perkelahian di parlemen menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan bukanlah tugas yang mudah, juga tidak sederhan, kata Wafa Bani Mustafa. "Tetapi yang penting adalah, kami mampu melakukannya."
"Banyak yang berubah sejak perempuan menerima hak pilih pada 1974, dan sejak pertama kali perempuan masuk parlemen pada 1993,” kenang Bani Mustafa. Namun, para aktivis perempuan khawatir bahwa amandemen baru bisa menjadi lebih basa-basi daripada kemajuan nyata.
Belum cukup
Salah satu perbedaan paling kontroversial adalah hak untuk mewariskan kewarganegaraan Yordania kepada anak-anak. Saat ini, undang-undang membatasinya — seperti di banyak negara Timur Tengah lainnya — hanya untuk anak-anak dari ayah Yordania.
Namun, lebih dari 110.000 perempuan Yordania menikah dengan pria non-Yordania, termasuk sekitar 55.000 pengungsi Palestina. "Hukum Yordania hanya mengizinkan ayah untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka," kata Human Rights Watch (HRW). Kecil kemungkinan hal ini akan berubah dalam waktu dekat. Lebih realistis untuk mengharapkan perubahan di bidang lain, seperti kesenjangan upah antara lelaki dan perempuan, atau tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja.
Yordania memiliki jumlah perempuan lulusan universitas yang tertinggi di kawasan itu, namun pada saat yang sama memiliki jumlah perempuan yang terendah dalam angkatan kerja. "Saya telah melihat peningkatan signifikan perempuan dalam bisnis pada sepuluh tahun terakhir," kata Deema Anani, kepala Digital Arabia Network di Amman dan anggota pendiri Asosiasi Pengusaha Muda, kepada DW.
"Hidup dan persepsi perempuan juga masih berbeda di pedesaan," tambahnya. Untuk ibu kota Amman, Deema Anani melihat peningkatan besar jumlah perempuan yang berwiraswasta. "Layanan online di sektor makanan dan minuman menjamur, dan sebagian besar pengusaha tunggal ini adalah perempuan,” ujarnya kepada DW. Bagi Anani, langkah selanjutnya yang penting adalah memasukkan lebih banyak perempuan ke tingkat eksekutif di sektor industri yang lain juga. (hp/pkp)