Pada Hari Toilet Dunia, warga Jakarta masih saja melihat gumpalan kuning mengambang di sungai-sungai, tentu itu bukan emas 24 karat. Tapi hasil dari perilaku buang hajat sembarangan di sungai, dan merupakan gambaran peradaban "toilet” yang belum terpenuhi secara adil di kawasan padat penduduk. Toilet dan sanitasi selalu menjadi isu strategis yang dibincangkan setiap tahun oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan media massa-- bahkan di tingkat dunia mewarnai polemik perkotaan yang padat populasi, seperti New Delhi, Dhaka, Meksiko dan kota-kota lainnya di dunia.
Di beberapa kawasan padat penduduk Jakarta, ketersediaan toilet umum terbatas karena lahan semakin sempit-- sehingga membuat warga Jakarta yang tak punya akses pada sanitasi dan toilet, serta tak tahan antri lama di toilet umum-- pilih buang hajat sembarangan di sungai. Bayangkan, beban sungai-sungai di Jakarta yang menampung limbah cair rumah tangga, sampah plastik dan limbah-limbah lainnya. Tidak ada data yang pasti, berapa jumlah warga Jakarta yang tidak memiliki toilet pribadi. Begitu pun jumlah toilet umum secara keseluruhan di Jakarta.
Bagaimana standarnya?
Toilet umum yang memenuhi standar kesehatan yakni, ruangan yang dirancang khusus lengkap dengan kloset dan punya persediaan air-- serta perlengkapan lain yang bersih, aman dan higienis-- dimana masyarakat di tempat-tempat domestik, nasional, komersial maupun publik dapat membuang hajat dan memenuhi kebutuhan fisik, sosial dan psikologis lainnya.
Pedoman yang dikeluarkan Kemenparekraf misalnya, mensyaratkan toilet sebagai fasilitas sanitasi untuk buang hajat besar dan kecil, tempat cuci tangan dan wajah. Tapi toilet umum di kampung-kampung Jakarta berbeda-- dapat digunakan secara menyeluruh, termasuk kebutuhan mandi, BAB dan cuci pakaian. Toilet umum harus memiliki fasilitas sanitasi yang bersih, aman dan higienis, dapat mengakomodasi kebutuhan semua kalangan masyarakat, tanpa membedakan usia dan jenis kelamin dari penggunanya. Ironisnya, toilet umum di Jakarta juga tidak memberikan opsi pada pemilik gender ketiga seperti waria, transgender dan lainnya.
Di kampung-kampung padat penduduk Jakarta, seringkali kondisi toilet pribadi sangat memperihatinkan; dinding lapuk, ruang sempit, WC mampet dan pencahayaan gelap, tanpa sirkulasi udara yang baik.Begitupun dengan toilet umum-- banyak pula yang kotor tidak terurus dengan baik. Lalu apa saja persyaratan toilet yang sesuai standar kesehatan? Pertama, ruang toilet untuk buang air besar (WC) harus memiliki panjang 80 - 90 cm, lebar 150 - 160 cm, dan tinggi 220 - 240 cm. Kedua, ruang untuk buang air kecil (urinoir) dengan lebar 70 - 80 cm dan tinggi 40 - 45 cm.
Sedangkan sirkulasi udara mesti diperhatikan, harus memiliki kelembaban udara berkisar 40 – 50 % dengan pergantian udara yang baik, yaitu mencapai 15 air-change per jam dengan suhu normal toilet 20 - 27 derajat celcius. Lalu ditambah pencahayaan toilet umum dapat menggunakan pencahayaan alamidan buatan. Iluminasi standar ini yaitu 100 - 200 lux. Sedangkan konstruksi bangunan dengan lantai yang memiliki kemiringan minimum 1 % dari panjang atau lebar lantai. Dinding bisa gunakan ubin keramik yang dipasang sebagai pelapis dinding, gysum tahan air atau bata dengan lapisan tahan air. Langit-langit atapnya terbuat dari lembaran yang kaku dan rangka yang kuat, sehingga memudahkan perawatan dan tidak kotor.
Kesehatan, martabat dan kesejahteraan
Menurut WTO atau World Toilet Organization, toilet yang bersih dan aman memastikan kesehatan, martabat, dan kesejahteraan-- namun 40 % populasi dunia tidak memiliki akses ke toilet. Organisasi Toilet Dunia ini merupakan organisasi nirlaba global yang memiliki komitmen untuk meningkatkan kondisi toilet dan sanitasi di seluruh dunia.
Lalu bagaimana dengan kondisi toilet di Jakarta? Toilet bersih di Jakarta biasanya yang terdapat di mall-mall-- karena pihak manajemen mall sudah menyediakan fasilitas lengkap dari wastafel, air bersih, sabun cuci tangan, handsanitizer, tisu dan lainnya, hingga dijaga petugas kebersihan. Tapi di fasilitas publik lain, acapkali ruang toilet sempit, kualitas air keruh dan bilik tanpa gantungan baju.
Tentu kondisi ini menyulitkan bagi pengguna toilet yang membawa tas ransel/tas slempang, sambil menenteng tas-- lalu seseorang buang air besar atau kecil. Masalah ketiadaan gantungan baju pada dinding toilet-- dapat memunculkan masalah pelik bagi siapapun penggunanya, termasuk perempuanyang mengalami menstruasi, lansia dan disabilitas, karena tidak semua toilet umum memiliki fasilitas khusus disabilitas.
Toilet dengan segala fasilitasnya harus mengedepankan nilai keadilan atau equity, bukan nilai persamaan atau equality saja, karena kebutuhan lelaki dan perempuan berbeda-- begitu juga bagi lansia, disabilitas dan gender ketiga. Faktor paling penting adalah keamanan dari penyalahgunaan toilet yang tidak bertanggung jawab. Apalagi di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini, fasilitas toilet umumyang aman, bersih dan higienis sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Toilet dan sanitasi di stasiun dan terminal, di Jakarta misalnya, mulai berbenah diri-- dengan menyediakan air bersih dan sabun cuci tangan. Namun ada juga terminal-terminal kecil seperti terminal Kampung Melayu, fasilitas toilet umum seadanya-- asal dapat buang air besar dan kecil saja. Kondisi toilet tampak suram dengan pencahayan yang temaram, meski itu adalah fasilitas publik. Pandemi Covid-19 telah mengubah pola hidup masyarakat di semua tingkatan, menjadi lebih peduli terhadap kebersihan, terutama rajin mencuci tangan di segala situasi.
Penulis: @faridaindria,
Penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.